Homili 30 Oktober 2020

Hari Jumat Pekan Biasa ke-XXX
Flp. 1:1-11
Mzm. 111:1-2,3-4,5-6
Luk. 14:1-6

Kebiasaan mengamat-amati hidup orang lain

Pada hari ini saya sangat bersyukur sebab Tuhan itu sungguh baik. Melalui sabda-Nya, Dia mengubah hidup saya dan saya yakin bahwa hidup banyak orang juga berubah pada hari ini. Apa yang saya maksudkan bahwa Tuhan hendak mengubah arah hidup saya pada hari ini? Dia mengingatkan saya melalui kebiasaan para pemimpin orang-orang Farisi dan semua orang yang hadir dalam perjamuan bersama di rumah salah seorang pemimpin Farisi saat itu (Luk 14:1-6). Salah satu kebiasaan mereka adalah suka ‘mengamat-amati Yesus dengan saksama’ jangan sampai Ia melakukan mukjizat tertentu pada hari Sabat. Dan terjadilah bahwa Yesus menyembuhkan seorang yang busung air saat itu juga. Tentu saja situasi dalam perjamuan bersama itu berubah dari sukacita menjadi kebencian, amarah dan iri hati.

Perhatikanlah baik-baik bahwa di sini, sikap suka ‘mengamat-amati’ hidup orang lain tentu selalu disertai rasa suka dan tidak suka. Rasa suka ketika orang tersebut menguntungkan hidup kita, rasa tidak suka ketika orang tersebut melawan status quo hidup pribadi kita. Saya merasa yakin bahwa kita semua tentu mengalami dan melakukan kebiasaan yang sama. Prinsip suka dan tidak suka menguasai hidup kita sehingga perbuaatan yang jahat juga dianggap baik atau sebaliknya sebaik apapun yang orang lain lakukan selalu salah dan jelek di mata kita. Sebagai contoh: Tuhan Yesus melakukan mukjizat dengan menyembuhkan orang sakit busung air pada hari Sabat tetapi tidak diapresiasi oleh kaum legalis Yahudi. Mereka hanya melihat bahwa Yesus melanggar haru Sabat padahal Dia adalah tuan atas hari Sabat. Hal lain dalam hidup kita, kita jarang mengapresiasi kebaikan orang lain. Kita lebih mengamat-amati dengan hati penuh cemburu, dendam dan iri hati, suka membandingkan orang lain dengan diri kita sendiri. Itulah bukti kerapuhan hidup kita. Mengapa kebiasaan mengamati-amati hidup sesama manusia masih melekat dalam diri kita?

Apakah kita harus bertahan saja dalam situasi seperti ini? Bagi saya, jawabannya adalah tidak! St. Paulus mengajar kita hari ini, kiat-kiat bermakna untuk hidup bersama lebih indah dan luhur. Kita semua diajak pertama-tama untuk selalu bersukacita atas penyertaan Tuhan, terutama karena kasih karunia dan damai sejahtera Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus menyertai kita semua. Doa selalu memiliki kekuatan tertentu dalam hidup kita. Paulus memang hebat karena sebagai pemimpin, ia terus mendoakan jemaat di Filipi dengan sukacita. Ia bersukacita kepada Allah karena persekutuan sebagai sesama umat dengan Injil yang sudah diwartakannya. Paulus merasa bahwa jemaat di Filipi selalu berada di dalam hatinya. Lihatlah bahwa sebagai seorang yang sedang dipenjara di Roma, Paulus masih menghibur dan mengarahkan jemaat di Filipi untuk hidup yang berkenan di hadirat Tuhan.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip doa St. Paulus bagi jemaat di Filipi: “Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” (Flp 1: 9-11). Niat baik yang perlu kita bangun: “Jangan mengingat lagi segala sesuatu yang sudah terjadi. Jangan suka mengamat-amati kehidupan pribadi orang yang lain. Amatilah lebih dahulu hidup pribadi kita masing-masing. Apakah kita hidup layak di hadirat Tuhan dan sesama manusia?

PJ-SDB