Homili 18 November 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXXIII
Why. 4:1-11
Mzm. 150:1-2,3-4,5-6
Luk. 19:11-28

Kesetiaan itu penting

Adalah Helen Keller (1880-1968). Sosok yang ikut mengubah dunia ini pernah berkata: “Kebahagiaan sejati itu tidak dicapai melalui kepuasan diri tetapi melalui kesetiaan pada tujuan yang mulia.” Perkataan Hellen Keller ini tentu berdasar pada pengalaman hidupnya sendiri. Ia mengalami kekurangan fisik tetapi dengan lapang dada ia berusaha untuk menerimanya sehingga ia dapat mengalami kebahagiaan sejati. Dia tidak mencapainya melalui kepuasan dirinya. Ia mencapai kebahagiaan sejati melalui kesetiaan dalam hidupnya. Saya membayangkan banyak orang yang mengalami kekurangan fisik tetapi tidak menerima diri dan kenyataan. Mereka menjadi pribadi yang tidak bahagia sepanjang hidup. Seharusnya mereka menerima diri dan setia menjalani hidup sebagai anugerah dari Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar sebuah perumpamaan dalam Injil Lukas 19:11-27. Perumpamaan ini kiranya mirip dengan apa yang ditulis dalam Injil Matius, 25:14-30 yaitu Perumpamaan tentang talenta. Bedanya adalah Lukas menceritakan tentang “seorang bangsawan” yang hendak berangkat ke luar negeri yang jauh untuk memperoleh pangkat sebagai raja. Tuhan Yesus mengambil sebuah cerita yang sudah terjadi dalam sejarah Israel pada abad ke-IV sebelum Masehi berkaitan dengan situasi politik yang tidak menentu. Pada waktu itu Herodes Agung meninggal dunia. Terjadi perkelahian diantara anak-anaknya mengenai penggantiannya. Sejarahwan Flavius Josephus menceritakan tentang kejadian ini bahwa Arkhelaus, Herodes Antipas dan Filipus sama-sama berangkat Roma untuk menjumpai Kaisar Agustus supaya meminta pangkat raja untuk mengganti ayah mereka.

Apa yang terjadi selanjutnya? Flavius Josephus mengisahkan bahwa ada lima puluh utusan orang Yahudi juga dengan segera berangkat setelah Arkhelaus untuk memberitahukan kepada Kaisar Agustus keberatan-keberatan mereka terhadap Arkhelaus. Mereka membeberkan kejahatan-kejahatan Arkhelaus ketika menjadi pengganti ayahnya di daerah Yudea yakni bahwa ia telah memulai pemerintahannya dengan menyuruh membunuh 3000 orang Yahudi seperti hewan-hewan sembelihan. Sebab itu para utusan ini memohon kepada Kaisar Agustus untuk mengubah cara orang Yahudi diperintah, dengan tidak lagi mengangkat raja-raja bawahan atas mereka yakni keturunan Herodes, tapi menggabungkan daerah mereka dengan Siria. Dengan demikian mereka langsung diperintah oleh seorang gubernur Romawi. Namun kaisar Agustus tetap mengangkat Arkhelaus menjadi wali negeri Yudea dan Samaria, walaupun tanpa gelar sebagai raja. Ketika Arkhelaus masih berada di Roma, timbullah kerusuhan di kalangan orang Yahudi sehingga menumpahkan banyak darah. Sekembalinya ke Yudea, Arkhelaus langsung mencopot imam besar dengan tuduhan telah menggantung para perusuh. Pada tahun-tahun berikutnya ia melakukan begitu banyak kekejaman, sehingga ia dalam tahun 6 Masehi diturunkan oleh Agustus. Daerah Yudea pada waktu itu ditarik dari kekuasaan keturunan Herodes. Ini adalah latar belakang kisah Injil ini. Kita melihat para pemimpin ini menunjukkan ketidaksetiaan mereka di negeri yang mereka kuasai.

Tema tentang kesetiaan mewarnai bacaan Injil hari ini. Dikisahkan oleh penginjil Lukas bahwa ada seorang bangsawan yang hendak bepergian ke sebuah negeri yang jauh untuk dinobatkan sebagai raja sesudahnya baru dia kembali. Dia memanggil sepuluh hambanya dan memberikan sepuluh mina. Mereka harus bertanggungjawab untuk mengembangkan mina tersebut dengan berdagang, ketika kembali mereka harus memberikan laporannya. Kesepuluh hamba ini menerimanya dan siap untuk mengusahakannya.

Sang bangsawan ini akhirnya kembali dan meminta laporan dari para hambanya. Dari sepuluh hamba, ia memanggil tiga hamba terlebih dahulu. Hamba pertama membawa sepuluh mina, artinya dia mengusahakannya hingga dari satu mina yang dia terima menjadi sepuluh mina. Hamba kedua membawa lima mina, berarti dia mengusahakannya dari satu mina saja hingga ia mendapat tambahan empat mina. Kedua hamba ini mendapat pujian karena mereka telah setia dalam urusan yang kecil dan berhak untuk menerima hadiah masing-masing sepuluh dan lima kota. Hamba yang ketiga datang dengan satu mina. Dia tidak mengusahakan mina tuannya itu, dia hanya membungkusnya di sapu tangan dan menyimpannya. Dia beranggapan bahwa tuannya itu adalah manusia yang keras; ia mengambil apa yang tidak pernah ia taruh dan ia menuai apa yang tidak ia tabur (Luk 19:21). Hamba ketiga ini mendapatkan hukuman sesuai dengan perkataannya sendiri.

Ketiga hamba dalam bacaan Injil ini adalah gambaran hidup kita di hadirat Tuhan. Sang bangsawan adalah sosok yang setia dan murah hati sehingga bisa mempercayakan mina kepada para hambanya. Para hamba diharapkan untuk setia melakukan kebaikan dan kepercayaan sang bangsawan. Sayang sekali, hamba pertama dan kedua setia tetapi hamba yang ketiga tidak setia dan berpikiran negatif terhadap tuannya. Siapakah sosok-sosok penting di dalam kisah Injil ini? Sang bangsawan adalah Tuhan Yesus sendiri. Mina adalah Injil Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya kepada kita. Hamba-hamba adalah anda saya. Tugas kita sebagai hamba Tuhan adalah mewartakan Injil sehingga menghasilkan buah-buah dalam ketekunan. Dengan demikian semua orang dapat mendengar Injil sebagai kabar sukacita dan memperoleh keselamatan. Banyak kali kita lalai mewartakan Injil dalam hidup dan karya sehingga tidak menghasilkan buah-buah Injil.

Pertanyaan bagi kita adalah apakah kita sudah setia kepada Injil dan tekun mewartakannya? Apakah hidup kita adalah sungguh-sungguh mencerminkan Injil yang hidup? Apakah kita dapat menghadirkan sukacita Injil kepada sesama dalam masa pandemi ini? Mari kita merenung dan menjawabi pertanyaan-pertanyaan ini di hadirat Tuhan. Kita menginginkan sukacita abadi bersama Tuhan maka mari kita melakukan tugas-tugas kita dengan baik sehingga menghasilkanlah buah-buah dalam ketekunan, untuk kebaikan orang lain. Berusahalah untuk selalu berpikir positif terhadap orang lain. Bangunlah kesetiaan dalam hidup, mulai dari hal-hal kecil dan sederhana.

PJ-SDB