Homili 14 Januari 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa I/B
Ibr. 3:7-14
Mzm 95:6-7.8-9.10-11
Mrk. 1:40-45

Dengan hati penuh belas kasihan

Kita masih berada dalam masa pandemi. Di mana-mana muncul gerakan-gerakan untuk merajut kasih persaudaraan antar sesama manusia. Gerakan-gerakan ini lebih banyak berasal dari akar rumput. Maka bagi saya, menjadi sebuah pemandangan yang indah dan mulia ketika orang miskin menunjukkan belas kasihnya kepada orang miskin yang lain. Dan ternyata gerakan merajut kasih persaudaraan ini seperti cincin yang tidak berujung dan pangkal. Dalam keadaan yang sulit orang masih tersenyum untuk berbagi, bukan hanya sekedar menyumbang dengan orang-orang yang sangat membutuhkan. Bagi saya, pengalaman ini sungguh menjadi sebuah pengalaman gereja yang luhur: orang miskin tidak takut menjadi miskin tetapi berani membahagiakan temannya supaya menjadi orang miskin yang bahagia dan bermartabat. Inilah belas kasih Allah yang tercurah dalam hati dermawan untuk berbagi dengan sesama. Inilah rasa empati yang indah di masa pandemi.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus dalam Injil Markus. Di kisahkan bahwa ada seorang kusta yang datang kepada Yesus. Ia berlutut di depan Yesus dan memohon supaya Yesus dapat mentahirkannya. Orang kusta ini unik. Biasanya mereka itu tersingkir dengan sendirinya dalam masyarakat. Mereka tinggal sendirian, kalau hendak berjalan di jalan umum, mereka harus berpakaian compang-camping, rambut tidak terurus dan harus berteriak selama berjalan di jalan umum bahwa dia orang kusta. Tentu saja dipihaknya tidak akan berani mendekati orang yang sehat karena merasa dirinya najis. Orang-orang lain juga akan menjauh karena takut dinajiskan.

Tetapi apa yang terjadi dengan Yesus? Orang kusta ini tahu bahwa Yesus akan melakukan yang terbaik baginya. Dan benar, Ia tergerak hati oleh belas kasihan, mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan menyembuhkannya. Orang kusta ‘pemberani’ ini mengalami bahwa tubunhya ditahirkan Yesus. Tuhan Yesus bahkan masih meminta supaya ia menunjukkan dirinya kepada imam dan mempersembahkan persembahan sesuai dengan aturan hukum Taurat. Dengan demikian si kusta tanpa nama ini boleh diterima dan bergabung dengan orang lain. Dia tidak lagi menajiskan orang lain. Tubuhnya sudah bersih. Tetapi apa yang terjadi sesungguhnya? Orang kusta ini menjadi misionaris. Ia pergi memberitakan pengalaman kesembuhannya ini ke mana-mana. Ini adalah ungkapan rasa syukurnya kepada Tuhan Yesus, meskipun menimbulkan kesulitan bagi Yesus karena Yesus tidak bisa masuk ke dalam kota.

Kisah Injil ini sangat menarik karena berbicara tentang hidup kita setiap hari. Orang kusta bisa juga menjadi bagian hidup pribadi kita. Di masa pandemi ini bisa jadi kita mengalami penolakan di mana-mana karena faktor kemiskinan dan lain sebagainya. Saudara-saudari yang terpapar covid-19 ‘diasingkan’ dengan isolasi mandiri. Mereka yang meninggal dunia akibat covid juga dikebumikan dengan cara yang benar-benar ‘mengisolasikan’ jenasah orang itu. Memang ini adalah protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Dan ini kita patut menerimanya. Di lain pihak, kisah injil ini bisa membantu kita untuk menjadi serupa dengan Yesus. Kita perlu membuka ruang-ruang kehidupan kita kepada orang-orang yang sangat membutuhkan selama masa pandemi ini. Kita perlu berani mengulurkan tangan dan menjamah mereka supaya mereka benar-benar menjadi manusia.

Nasihat yang terbaik bagi kita hari ini berasal dari surat kepada umat ibrani yang kita dengar dalam bacaan pertama: “ Hendaklah kalian saling menasihati setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’. Semangat pertobatan perlu kita bangun dalam hidup pribadi kita. Mungkin saja kesulitan kita merajut kebersamaan sebagai sesama adalah karena kita belum bertobat. Hati kita masih keras, kita bertegar hati di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan bertegar hati maka sulitlah bagi kita untuk berbelas kasih seperti Yesus lakukan bagi kita.

PJ-SDB