Hari Selasa, Pekan Biasa ke-2
Ibr. 6:10-20
Mzm 111: 1-2.4-5.9.10c
Mrk. 2:23-38
Yesus melebihi segalanya
Saya merasa kagum dengan seorang sahabat yang tadinya bukan seorang aktivis gereja tetapi kini benar-benar berubah menjadi aktivis Gereja. Dalam masa pandemi ini saja ia yang menggerakan rekan-rekannya untuk memberikan bala bantuan kepada sesama yang sangat membutuhkan. Dalam percakapan kami terakhir, saya bertanya kepadanya alasan mengapa dia begitu berubah sehingga mengisi masa pandemi dengan memperhatikan sesama yang sangat membutuhkan? Ia mengatakan: “Saya melakukan semua ini karena Tuhan Yesus mengubah hidupku. Saya pernah sakit dan sempat opname di rumah sakit. Ini benar-benar menakutkan karena kita masih berada di masa pandemi. Tapi saya kagum karena ada seorang gembala yang rela datang mengunjungi dan mendoakanku. Ia mengatakan bahwa saya harus percaya bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkanku. Sayta berkata dalam hatiku, saya percaya bahwa Tuhan Yesus pasti menyembuhkanku. Dan benar. Tuhan Yesus memberikan penyembuhan ajaib kepadaku. Aku sembuh dan siap melayani-Nya.”
Saya senang membaca pesannya di WhatsApp. Apa yang saya lihat dari luar sebenarnya terpancar dari dalam hatinya. Ia sungguh berubah dan kini menjadi saudara bagi semua orang. Dia berubah dan mengakui Yesus ‘melebihi’ segala-galanya. Pengakuan bahwa Yesus melebihi segalanya merupakan tanda nyata cinta kasih-Nya kepada Tuhan Yesus sendiri. Banyak kali kita menyaksikan teman-teman kita mulanya apatis, namun bisa berubah menjadi sosok inspiratif bagi semua orang. Saya sudah pernah bertemu dan mengalami sendiri tranformasi besar dalam diri sahabat dan kenalan. Tuhan mengubah hidup mereka dan dengan sendirinya Tuhan juga mengubah hidup saya yang menjumpainya. Maka Tuhan sebenarnya menyadarkan kita bahwa ketika kita berubah maka dengan sendirinya Tuhan memakai kita untuk mengubah hidup orang lain.
Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang bagus. Dikisahkan oleh penginjil Markus bahwa pada suatu hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum. Tindakan para murid Yesus ini menimbulkan kecaman dari kaum Farisi. Mereka mengatakan kepada Yesus bahwa murid-murid-Nya tidak menghormati hari Sabat. Tuhan Yesus memandang mereka dan mengambil sebuah contoh yang popular dalam Kitab Perjanjian Lama, khususnya kisah Daud dalam 1Sam 21:2-10. Ketika itu Daud dan pasukannya bertemu dengan imam Ahimelekh dan meminta makan. Ketika itu tidak ada roti lain selain roti kudus. Imam meminta perhatian mereka supaya mereka benar-benar murni supaya bisa memakan roti kudus. Imam pun memberi mereka roti kudus untuk dimakan (1Sam 21:6). Daud dan pasukannya makan sampai kenyang, dan mereka tidak dianggap melanggar apa-apa.
Pada akhirnya Tuhan Yesus mengatakan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Jadi, Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat.” (Mrk 2:27-28). Di sini Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Dia yang lebih dari segalanya. Dia adalah Tuhan atas hari Sabat! Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya bahwa Dia memang berkuasa atas segala sesuatu di atas dunia ini. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:27).
Banyak kali orang beperilaku sangat legalis dan lupa diri bahwa mereka juga manusia biasa. Mereka berpikir seolah-olah melebih Tuhan padahal mereka juga hanya manusia biasa. Mungkin saja anda dan saya juga bersifat legalis sehingga lupa bahwa yang terpenting adalah memperjuangkan kasih dan kebaikan, bahwa martabat manusia adalah bagian dari perjuangan kita untuk mempertahankannya bukan menjatuhkannya. Tuhan Yesus mengajar kita untuk memperhatikan martabat manusia bukan menjatuhkannya. Prinsip kasih dan kebaikan haruslah menjadi pilihan paling mendasar dalam hidup kita untuk melayani sesama.
Apa yang harus kita lakukan?
Kita perlu berusaha untuk memberi harapan akan hidup yang lebih bermakna dan bermartabat. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis: “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.” (Ibr 6:19-20). Kita perlu berusaha untuk membawa harapan kepada orang yang tidak berpengharapan. Tuhan Yesus melakukannya kepada para murid dan Gereja-Nya sepanjang zaman. Hidup kita bermakna ketika kita juga memiliki harapan dan membagi harapan kepada sesama.
P. John Laba, SDB