Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-2
Ibr. 9:2-3,11-14;
Mzm. 47:2-3,6-7,8-9
Mrk. 3:20-21
Terima kasih keluargaku
Adalah George Bernard Shaw (1856-1950). Penulis, pengkritik dan Peraih Nobel sastra (1925) dari Irlandia dan Inggris ini pernah berkata: “Sebuah keluarga yang bahagia merupakan sebuah surga yang datang lebih awal.” Keluarga yang bahagia adalah harapan dan cita-cita semua orang. Dan memang tujuan utama hidup berkeluarga, pertama-tama adalah supaya pasangan hidup itu menjadi bahagia. Masing-masing pribadi berjuang untuk sepadan dan membangun rasa bahagia bersama di dalam keluarga. Tidak pernah ada pasangan yang mau menikah untuk menderita. Bahwa dalam mengarungi perjalanan hidup berkeluarga itu ada penderitaan dan kemalangan maka mereka harus tetap berkomitmen untuk memperjuangkan kebahagiaan bersama. Keluarga tetaplah prioritas utama dalam hidup bersama. Kalau saja setiap anggota keluarga sama-sama membangun kebahagiaan di dalam kekuarga maka boleh dikatakan sebagai surga yang lebih awal. Dan benarlah apa yang dikatakan Penulis berkebangsaan Amerika Serikat yakni Richard Bach: “Garis yang menghubungkan kamu dengan keluargamu yang sesungguhnya bukanlah hubungan darah, melainkan rasa hormat dan kebahagiaan akan kehidupan satu dan yang lainnya.”
Pada hari ini kita mendengar kisah lain dari kehidupan Yesus. Markus mengisahkan bahwa Yesus dan para murid-Nya masuk ke dalam sebuah rumah. Kemungkinan rumah Simon Petrus yang selalu dijadikan markas bersama. Orang banyak berdatangan ke rumah itu untuk mendengar-Nya dan merasakan mukjizat penyembuhan. Yesus dan para murid-Nya begitu berkomitmen sampai lambat bahkan lupa makan. Dia tetap berprinsip: “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” (Luk 4:43). Meskipun prinsip Yesus ini sangat jelas, namun orang mengatakan bahwa Yesus tidak waras lagi sehingga keluarga-Nya datang untuk menjemputnya. Padahal Yesus baik-baik saja. Ia sedang menunjukkan komitmen panggilan-Nya untuk mengajar dan membuat tanda-tanda yang menyelamatkan.
Kisah Yesus ini mengungkapkan dua hal yang penting:
Pertama, ada banyak orang di antara kita yang lebih suka melihat hal-hal sepeleh pada diri orang lain dari pada hal-hal yang sebenarnya dan bersifat baik. Tuhan Yesus sibuk melayani dan lupa makan atau lambat makan tetapi saat itu orang tidak melihat apa yang sedang Dia lakukan. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan Yesus mudah dilupakan dan mereka justru menganggap-Nya tidak waras lagi. Pengalaman Yesus adalah pengalaman kita juga. Berapa kali kita mengalami hujan cacian karena kita berbuat baik? Seorang pemenang seperti Yesus adalah selalu bahagia disaat berbuat baik dan tahan banting di saat mengalami cacian. Kita seharusnya menyerupai Yesus bukan bersifat cengeng ketika mendapat cacian dari orang lain.
Kedua, Tuhan Yesus saja diangap tidak waras. Anggapan ini benar-benar sangat disayangkan. Masa Tuhan juga dianggap tidak waras padahal Dia sedang berbuat baik. Anggapan ini sangat bertentangan dengan perkataan roh jahat yang merasuki orang. Ketika Tuhan Yesus mengusir berbeda dengan roh jahat, mereka berteriak dan mengenal Yesus dan kuasa-Nya: “Engkaulah Anak Allah.” (Mrk 3:1). Roh jahat mengenal kuasa Yesus tetapi manusia tidak mengenal kuasa Yesus bahkan menganggap-Nya sebagai orang yang tidak waras. Banyak di antara kita saat ini lebih mengandalkan dirinya sehingga mengabaikan Tuhan. Orang-orang seperti ini juga tidak dapat mengakui Yesus: “Engkaulah Anak Allah” hanya ketika mengalami kesulitan barulah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mari kita masuk di dalam kehidupan yang nyata. Kisah injil ini juga menunjukkan tanggungjawab keluarga Yesus. Mereka mendengar segala kesibukan dan anggapan orang yang miring terhadap-Nya. Mereka menunjukkan tanggung jawab mereka dengan datang dan mau menagmbilnya. Keluarga selalu hadir di saat-saat bahagia dan tidak bahagia untuk meneguhkan dan menguatkan. Pengalaman Yesus juga menjadi pengalaman kita. Di masa pandemi ini semua orang kembali ke dalam keluarganya. Waktu berkualitas di dalam keluarga semakin lama.Orang tua semakin menyadari tugasnya sebagai pendidik nomor satu. Dalam suasana apa saja, orang tua harus hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
Pikirkanlah saat-saat di mana kita menjauh dari keluarga. Hidup kita ‘sebatang kara’ dan tak bermakna. Biar bagaimana pun kita harus kembali ke dalam keluarga. Senang atau tidak senang keluarga kita lebih baik, lebih hijau dan indah. Mengapa demikian? Karena cinta kasihlah yang menyatukan keluarga. Keluarga atau Family: Father and Mother I Love You. Cinta menyatukan setiap pribadi. Di mana ada cinta, Tuhan pasti hadir. Keluarga bahagia kalau ada suasana kasih dan saling mengampuni. Paus Fransiskus pernah berkata: “Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna, tidak menikah dgn orang yg sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan.”
Tuhan Yesus ketika dianggap tidak waras, keluarga-Nya datang dan hendak mengambil-Nya. Keluarga memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk kehidupan kita. Maka kembali ke dalam keluarga dan cintailah keluargamu. Apa yang harus kita lakukan? Santa Theresia dari Kalkuta berkata: “Mari kita membuat satu kesepakatan, bahwa kita saling bertemu dengan senyum, dan ketika sulit untuk tersenyum, maka adakan waktu untuk satu sama lain dalam keluarga.”
P. John Laba, SDB