Homili 27 Januari 2021

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-3
Ibr. 10:11-18
Mzm. 110:1,2,3,4
Mrk. 4:1-20

Benih-benih terbaik

Kita masih berada di masa pandemi. Rasanya kita semua sudah sedang berubah perilaku hidup untuk menyesuaikan diri dengan protokol Kesehatan. Banyak ‘M’ yang bukan hanya menjadi perbincangan public tetapi menjadi habitus baru bagi semua lapisan masyarakat. Anak-anak di usia dini sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan beberapa ‘M’, bahkan para lansia juga harus membiasakan diri juga dengan mempraktikkan beberapa ‘M’. Semuanya menjadi indah dan menarik karena manusia menjadi satu komunitas baru yang saling menjaga dan menjauhkan diri dari cluster-cluster yang membahayakan. Dalam situasi pandemi seperti ini, masing-masing kita terpanggil untuk mengikuti teladan Kristus dalam Injil, Dia laksana sang Penabur yang keluar dan menabur benih-benih Sabda yang sangat transformatif bagi manusia sesuka hatinya.Benih-benih yang ditaburkan-Nya bersifat sangat transformatif karena laksana pedang bermata dua (Ibr 4:2).

Saya tertarik dengan perumpamaan yang luar biasa ini. Sang Penabur yakni Sang Sabda yang berinkarnasi dan tinggal bersama kita memiliki kehendak bebas untuk keluar dan menabur benih yakni logos atau Sabda sesuai dengan seleranya. Benih-benih yang ditaburkan itu ada yang jatuh dipinggir jalan, di atas batu, di antara semak berduri dan di tanah yang subur. Keadaan benih memang sesuai dengan keadaan lahannya: benih di pinggir jalan cepat hilang karena di makan burung. Benih yang jatuh di atas batu cepat tumbuh tetapi cepat juga layu dan mati karena tidak dapat berakar di atas batu. Benih yang jatuh di antara semak duri bisa bertumbuh tetapi akhirnya kerdil dan mati karena dihimpit semak duri dan juga tidak berbuah. Benih yang jatuh di tanah yang subur akan menghasilkan buah yang berlipat ganda: seratus, enam puluh dan tiga puluh kali lipat.

Dari benih ke sabda. Benih melambangkan sabda. Ada orang yang ibarat benih yang jatuh di pinggir jalan. Begitu menerima sabda Tuhan, sabda itu langsung hilang karena orang itu dikuasai iblis dan kuasanya. Benih di atas batu adalah orang yang menerima sabda dengan gembira tetapi tidak berakar kuat sehingga mudah menjadi murtad karena penindasan dan penganiayaan. Benih yang berada di antara semak duri adalah orang yang masih dikuasai tipu daya dunia dan kekayaan sehingga mudah mengabaikan Sabda dan tidak berbuah. Benih yang jatuh di tanah yang baik adalah mereka yang mendengar Sabda, merenungkan dan melakukan Sabda sehingga menghasilkan buah dalam ketekunan.

Apakah dalam masa pandemi ini kita masih menjadi medium yang baik bagi sabda sehingga menghasilkan buah-buah Sabda dalam ketekunan? Atau kita sedang berhenti di tempat dan tidak menghasilkan buah karena alasan pandemi sehingga kita seperti benih di pinggir jalan, di atas tanah berbatu, atau di antara semak duri. Kita sendiri yang harus tahu diri dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan.

Benih-benih itu adalah sabda Tuhan yang tajam. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis: ”Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibr. 4:12). Mari kita membaca, merenungkan dan melakukan Sabda sehingga menghasilkan buah dalam ketekunan. Santu Yakobus menasihati: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” (Yak 1:22-24).

Tuhan memberkati dan jadilah misionaris Sabda.

P. John Laba, SDB