Homili 5 Februari 2021

Hari Jumat Pekan Biasa ke-4
Peringatan Wajib Agata
Ibr. 13:1-8;
Mzm. 27:1,3,5,8b-9abc;
Mrk. 6:14-29

Benih Kristiani makin subur

Adalah Quintus Septimius Florens Tertullianus atau yang dikenal dengan nama singkat Tertullianus kelahiran tahun 160M. Beliau dikenal sebagai seorang Bapa Gereja dan Apologet kenamaan pada masanya. Berkaitan dengan para martir yang menumpahkan darahnya karena kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, beliau berkata: “Il sangue (dei martiri) è il seme dei cristiani.“ (Darah para martir adalah benih orang Kristiani). Perkataannya ini sangat super. Gereja tetap berdiri tegak sampai saat ini karena ada darah para martir yang ditumpahkan. Semuanya karena cinta yang besar kepada Tuhan Yesus Kristus yang lebih dahulu menjadi martir untuk menyelamatkan umat manusia. Kemartiran adalah sebuah anugerah dari Tuhan untuk orang-orang yang dikasihi-Nya. Saya teringat pada Santo Óscar Arnulfo Romero. Orang kudus dan martir modern ini pernah berkata: “Il martirio è una grazia di Dio che non credo di meritare, ma se Dio accetta il sacrificio della mia vita, che il mio sangue sia un seme di libertà e il segno che la speranza sarà presto realtà.“ (“Kemartiran adalah sebuah anugerah Tuhan yang menurutku tidak pantas aku terima, tapi jika Tuhan menerima pengorbanan hidupku, kiranya darahku menjadi benih kebebasan dan pertanda bahwa harapan akan segera menjadi kenyataan”).

Pada hari ini kita mengenang dua orang martir yang inspiratif. Secara liturgis kita mengenang santa Agatha. Nama Agatha dari bahasa Yunani yakni αγαθος (agathos) yang berarti : “Baik” atau “indah”. Orang kudus dari Sicilia Italia ini sangat cantik sehingga disukai oleh Gubernur Romawi yang kafir. Namun sayang sekali karena Agatha sudah berjanji untuk membaktikan dirinya hanya bagi Tuhan. Ia pernah berdoa: “Yesus Kristus, Tuhanku, “Engkau melihat hatiku dan Engkau mengetahui kerinduanku. Hanya Engkau saja yang boleh memilikiku, oleh sebab aku sepenuhnya adalah milik-Mu. Selamatkanlah aku dari orang jahat ini. Bantulah aku agar layak untuk menang atas kejahatan.” Doa ini sangat menguatkan sehingga meskipun Agatha dijual ke tangan mucikaripun, dia tetap berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Ketika dicambuk hingga wafat, ia masih berdoa: “Tuhan Allah, Penciptaku, Engkau telah melindungi aku sejak masa kecilku. Engkau telah menjauhkan aku dari cinta duniawi dan memberiku ketabahan untuk menderita. Sekarang, terimalah jiwaku.” Ia berpasrah kepada Tuhan dan menyerahkan nyawanya pada tahun 250M.

Kehidupan santa Agatha sangatlah inspiratif bagi manusia pada zaman ini, terutama ketika nilai-nilai kemurnian hidup itu dianggap makin murah. Ada banyak contoh kasus dalam masyarakat kita. Misalnya, penjualan anak-anak di bawah umur dari kampung-kampung yang dianggap bodoh kepada para mucikari untuk menjadi pelacur demi menyenangkan para pria hidung belang. Anak-anak muda yang lebih memilih menikmati tubuh tanpa memikirkan cinta sejati. Ada pedofilia yang merebak dalam masyarakat. Nafsu-nafsu manusiawi ini tidak melihat adanya batas-batas mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita butuh Santa Agatha untuk mengingatkan bahwa yang terpenting adalah cinta bukan nafsu manusiawi karena kita adalah milik Tuhan.

Kita juga mengenang seorang martir besar dalam kisah Injil hari ini. Dialah Yohanes Pembaptis. Ia dipilih Tuhan untuk menyiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan Yesus. Yohanes adalah suara yang berseru, bendera pertobatan diserukan kepada orang-orang di sekitar sungai Yordan. Bahkan membungkuk dan membuka tali sepatu Yesus pun dia merasa tidak layak. Sosok Yohanes sangat inspiratif karena sederhana, rendah hati dan selalu berkata benar. Itu sebabnya Yesus mengatakan: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya.” (Mat 11:11).

Bacaan Injil hari ini mengisahkan kemartiran Yohanes Pembaptis karena Ia mengatakan kebenaran. Ia menegur Herodes Antipas (Antipatros). Herodes Antipas adalah putera Herodes Agung yang berkuasa sebagai raja wilayah Galilea dan Perea pada abad pertama Masehi. Ia memiliki gelar Tetrarki. Herodes Antipas mula-mula menikah dengan Phasaelis, yakni putri Aretas IV Philopatris dari Nabatea. Namun ia tega menceraikan istri pertamanya ini untuk menikahi Herodias, istri dari Herodes Filipus I. Tentu saja sikap seperti ini tidak elok. Seorang public figure apalagi raja besar menjadi pebinor itu sangat jahat dan tidak bisa menjadi panutan. Yohanes Pembaptis berusaha menegurnya dengan berkata: “Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!” (Mrk 6:18).

Teguran Yohanes ini tidak diterima baik oleh Herodias si pelakor. Maka Herodias meminta Herodes untuk memenjarakan Yohanes. Rasa benci dari Herodias memuncak ketika anaknya bernama Salome menari dan menyukakan hati Herodes. Ia meminta hadiah dan dengan saran dari ibunya makai a meminta kepala Yohanes Pembaptos di dalam sebuah talam. Yohanes menjadi martir karena mengatakan kebenaran. Dia tidak bisa dibungkam karena kebenaran selalu menjadi nomor satu.Darah kemartiran Yohanes menjadi benih hidup kristiani sepanjang zaman.

Pada saat ini kita membutuhkan martir-martir yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Martir-martir yang memerangi korupsi politik sehingga yang ada hanyalah keadilan, kedamaian dan kesejahteraan umum. Sayang sekali sosok Yohanes Pembaptis saat ini tidak ada. Orang takut kehilangan kursi, takut kehilangan status sosial dan lain sebagainya. Semoga saja sosok Yohanes Pembaptis mengoreksi para sosok publik yang suka berpoligami dan berpoliandri. Semoga rasa malu masih ada di dalam hati mereka. St. Agatha doakanlah kami. St. Yohanes Pembaptis doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB