Kematian pasti sangat indah
Pada malam hari ini saya membaca beberapa tulisan saya di laptop. Saya menemukan sebuah kutipan perkataan dari Oscar Wilde, seorang penulis berkebangsaan Irlandia. Bunyi perkataannya adalah: “Kematian pasti sangat indah. Untuk berbaring di tanah cokelat lembut, dengan rumput-rumput melambai di atas kepala seseorang, dan mendengarkan keheningan. Tidak ada kemarin, dan tidak ada besok. Untuk melupakan waktu, untuk memaafkan hidup, berada dalam kedamaian.” Saya merasa yakin bahwa kematian memang sangat indah karena Tuhan memanggil kita untuk datang kepada-Nya sebab tugas perutusan kita dunia dianggap cukup oleh-Nya. Ketika meninggal dunia kita akan masuk ke dalam sebuah peti sesuai ukuran fisik kita, masuk ke dalam liang kubur atau dikremasi. Kalau dikuburkan maka ada tanah cokelat atau tanah hitam lembut yang diberkati, ada rumput hijau yang akan ditanam di atasnya dan perlahan-lahan tidak lagi disebut kuburan tetapi sebuah memorial park.
Kematian sangat indah di dalam keluarga saya. Mama saya meninggal dunia di usia 90 tahun pada tanggal 22 November 2020 yang lalu. Sekarang kami masih dalam suasana duka menuju ke hari ke-100. Di dalam satu kubur yang sama, peti jenasah ayah saya yang meninggal 14 Februari 1997 juga diangkat dan diletakkan di sampingnya. Maka kini kubur ayah dan ibuku menjadi satu meski dalam ruang yang berbeda. Pada saat ini sedang dirapikan untuk menjadi sebuah memorial home bagi keluarga kami. Saya berharap supaya dapat memberkati kubur ayah dan ibu saya pada saat memperingati setahun kematian mama saya pada saat menjelang akhir tahun ini.
Saya ingin bercerita tentang keluarga dari ayah saya. Kakek Laba Kame adalah orang Lerek asli tanpa kepalsuan, menikahi nenek Bera Telupun, seorang wanita cantik dari Lamanuna, sebuah kampung terpencil di bagian utara Pulau Lembata, NTT. Perkawinan kakek dan nenek ini membuahkan anak-anak yakni Pertama, Bunga yang menikah dengan Gole Tawan dari Baulolong. Kedua, Gelole yang menikah dengan Balapida dari Lewokurang. Ketiga, Klemens Kia yang menikah dengan Maria Bunga Keraf yang melahirkan saya dan saudari saudara saya. Keempat, Ero yang menikah dengan Ua Kayo. Kelima, Bewa tidak menikah. Keenam, Dike yang menikah dengan Baha Taru dan si bungsu Bapa yang menikah dengan Lelu. Dari nama-nama yang saya sebutkan ini, yang masih hidup adalah Dike dan Bapa. Mereka yang lain sudah menghadap Bapa di surga.
Ada satu keunikan yang luar biasa di dalam keluarga saya dan saya syukuri pada hari ini. Pada hari ini 14 Februari 2021, kami mengenang meninggalnya Bapa Klemens Kia, ayah saya. Dia meninggal karena sakit. Pada saat itu musim hujan dan angin. Saya masih menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Fatumaca Timor Leste. Karena situasi cuaca tidak memungkinkan sehingga saya datang menjelang empat puluh hari. Kematian ayah merupakan tantangan besar dalam panggilanku. Pada saat itu saya sedang menyiapkan diri untuk membaharui kaul-kaul kebiaraan saya (kaul sementara) dan saya juga sedang menyiapkan diri untuk melanjutkan studi Teologi di Jerusalem, Israel. Saya harus membuat discernment untuk membuat keputusan yang tepat melanjutkan panggilan atau stop saja. Mama saya mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak pernah memaksa saya untuk mengikuti panggilan. Saya sendiri yang bebas dan mau maka saya harus berkomitmen. Saya mendengar dan memahami nasihatnya ini dan berusaha maju sampai saat ini.
Pada tanggal 29 November 2020 yang lalu, kami membongkar kubur Bapa Klemens supaya disemayamkan di samping mama saya. Kami memanggil Kaka Lukas Plile untuk membuat upacara adat, selanjutnya saya sebagai anak laki-laki yang tertua memulai pukulan pertama di kubur. Kami berhasil mengangkat peti jenasah bapa ke atas tanah. Peti jenasa masih utuh dan tubuhnya pun masih utuh.Tidak ada bau apapun yang menganggu kami semua. Saya memimpin upacara pemberkatan dan penguburan ayah saya dengan meletakkan peti jenasahnya di samping mama saya. Ini merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri sebab sebagai anak dan sebagai imam, saya dapat menguburkan kedua orang tua saya. Saya lalu mengingat perkataan ayah saya: “Saya bekerja keras untuk kalian, dan saya hanya minta dua hal dari kalian yaitu doa dan lilin putih.” Saya selalu mengingat perkataan ini sehingga setiap kali kembali ke rumah saya selalu membawa lilin putih untuk ayah dan sekarang menjadi ‘untuk ayah dan ibuku’.
Kematian itu sangat indah. Pada hari ini taggal 14 Februari 2021, saya mendengar berita sedih. Saudari perempuan ayah yang paling tua bernama Bunga Gole Tawan meninggal dunia di Lewoleba. Saya bertemu dengan Kakei Bunga pada awal tahun 2020 yang lalu. Dia berusia 100 tahun. Mama saya bercerita bahwa ketika menikah dengan ayah saya, Kakei Bunga Gole itu sudah menjadi gadis dewasa, mereka berbeda usia sekitar 10 tahun. Maka diperkirakan usianya 100 tahun. Pada saat saya merayakan misa syukur imamat tahun 2001, kakei Bunga ikut ke Lerek setelah bertahun-tahun tidak menginjakan kakinya di kampung. Pada awal tahun 2020 yang lalu, dia sudah tidak mengenal saya. Pendengaran dan matanya masih kuat tetapi daya ingatnya sudah menurun. Hari ini dia dipanggil Tuhan untuk tinggal di rumah Bapa di surga.
Hal yang sangat indah bukan soal usianya yang mencapai 100 tahun, tetapi Kakei Bunga Gole adalah anak sulung sekaligus anak perempuan sulung. Ayah saya adalah anak laki-laki sulung atau tertua. Mereka berdua meninggal pada tanggal yang sama yakni 14 Februari. Jadi setelah 24 tahun ayah saya meninggal barulah si sulung meninggal dunia. Kedua-duannya meninggal di hari yang sama, tahun berbeda. Tanggal yang memiliki makna istimewa karena hari Valentine atau hari kasih sayang. Kedua bersaudara mengalami kematian yang sangat indah karena sama-sama anak perempuan dan laki-laki tertua, dna meninggal pada tanggal yang sama, tahun berbeda. Tanggal penuh kenangan dan penuh kebahagiaan.
Saya bersyukur karena Tuhan memberi rahmat istiwewa untuk keluarga besar dari ayah saya. Tuhan sungguh baik karena diberikan anugerah usia yang panjang dan penuh dengan berkat yang berlimpah. Kakek Laba Kame dan nenek Bera Telupun telah memberi keturunan yang terbaik dan kami sebagai cucu sungguh merasakannya. Terima kasih Tuhan karena hidup kami menjadi sanagat berarti, hingga saudara maut akan datang dan menjemput supaya kami mengalami keindahan yang abadi.
Saya menutup tulisan ini dengan mengutip Dalai Lama. Pemimpin rohani dari Tibet ini pernah berkata: “Kematian berarti mengganti pakaian kita. Pakaian tersebut sudah usang, dan inilah waktunya untuk menggantinya. Begitu juga tubuh ini yang sudah tua, dan waktunya mengganti dengan tubuh yang muda.” Terima kasih Tuhan karena Engkau sudah mengganti pakaian kehidupan yang sudah usang dan menggantinya dengan pakaian kehidupan yang baru. Semoga Engkau menerima ayah dan ibuku di surga. Semoga Engkau memberikan tempat abadi untuk Kakei Bunga Gole Tawan dan segenap saudara lain yang sudah mendahului kami. Terimalah dan berilah cahaya abadi bagi mereka semua.
P. John Laba, SDB