Rela Kehilangan Nyawa
Pada malam ini saya mendapat kiriman ayat Kitab Suci ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Kasih itu luhur karena seorang yang mengasihi itu memberikan segalanya, tidak ada yang tersisa bagi dirinya. Kasih itu sungguh mulia karena ketika seorang memberi, dia akan bisa melupakan apa yang diberikannya tetapi orang yang menerima kasihnya tidak akan melupakan begitu saja kasih yang diterima dan pemberinya. Tuhan Yesus memberikan kasih-Nya yang agung karena Ia menyerahkan diri-Nya secara total, tuntas untuk keselamatan manusia. Kasih yang tuntas itu ada karena penyerahan diri, memberikan nyawa untuk sahabat-sahabat yang dikasihi.
Bagaimana kita memahami kasih yang agung dengan kerelaan seseorang untuk kehilangan nyawanya? Mari kita memandang Tuhan Yesus dan salib-Nya. Kita tentu mengerti bahwa ‘In Cruce Salus’ (pada salib ada keselamatan). Kita selalu berdoa: “Sebab dengan salin suci-Mu, Engkau telah menebus dunia”. Salib menjadi tanda kemenangan karena Yesus sendiri menang atas salib. Kita pun dipanggil untuk memenangkan salib kehidupan yang kita pikul hari demi hari untuk menyelamatkan dan membahagiakan sesama kita.
Pemahaman kita tentang rela kehilangan nyawa dapat kita lihat dalam diri orang tua kita. Pandanglah wajah ibu yang melahirkanmu, entah secara normal atau melalui operasi sesar. Kasih yang agung dan luhur serta mulia seperti itu. Seorang ibu tidak pernah takut meskipun secara manusiawi, secara fisik dia takut. Melahirkan secara normal juga penuh kesakitan dan ibu harus berjuang, bergumul untuk hidup dan bayinya juga selamat. Melahirkan secara operasi sesar juga menakutkan. Ia merelakan perutnya dibuka dan dijahit kembali. Menakutkan dan sangat menderita. Namun ibu bahagia ketika menyaksiakan anaknya hidup. Dia melupakan semua penderitaannya. Ibu hanya merasa bahagia melihat bekas luka di perutnya.
Pada hari ini saya tersentuh dengan perkataan Tuhan Yesus ini: “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk 9:24-25). Semua yang saya contohkan adalah pengalamana keluarga-keluarga kita saat ini.
Mari kita melihat gereja kita. Tertulianus adalah seorang Bapa Gereja yang mengatakan: “Il sangue (dei martiri) è il seme dei cristiani” (Darah para martir adalah benih Kristiani). Perkataan Tertulianus ini berhubungan dengan penyerahan diri karena kasih kepada Kristus. Tuhan lebih dahulu mengasihi maka kita pun mengasihi Dia bahkan hingga kemartiran. Ini sungguh menjadi benih Kristiani.
Salam dan berkat Tuhan,
PJ-SDB