Food For Thought: Tuhan saja menyesal…

Tuhan Allah saja menyesal!

Pada malam hari ini ada dua hal yang masuk dalam pikiran saya. Pikiran pertama adalah tentang pertobatan. Pikiran kedua adalah penyesalan. Sebenarnya kedua pikiran ini sama seperti cincin yang tidak berujung dan pangkal. Pertobatan dan penyesalan atau penyesalan dan pertobatan.

Pokok pikiran yang pertama tentang pertobatan. Bertobat atau bermetanoia. Secara sederhana bertobat berarti berbalik dari hidup lama ke hidup baru bersama Tuhan. Seorang yang bertobat, berarti dia meninggalkan hidup dalam kungkungan dosa menjadi orang yang merdeka bersama Tuhan. Saya mengingat St. Fransiskus de Sales mengatakan: “Allah sangat menghargai pertobatan sehingga sekecil apa pun pertobatan di dunia, asalkan itu murni, menyebabkan Dia melupakan segala jenis dosa, bahkan setan pun akan diampuni semua dosanya, jika saja mereka memiliki penyesalan.”

Masa prapaskah merupakan masa yang indah di mana kita membangun pertobatan sebagai sebuah habitus. Kita bertobat karena sebuah panggilan dari Tuhan bukan karena kita yang mau sendiri. Tuhan memanggil kita untuk bertobat meskipun banyak dosa yang kita miliki. Dia yang berkata: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Yunus bisa mempertobatkan seluruh Niniwe karena Ia lebih dahulu mengalami pertobatan. Anda dan saya bisa mempertobatkan orang lain kalau kita sudah bertobat secara pribadi. Saya sebagai seorang imam bisa layak mendengar dan melayani sakramen tobat kalau saya benar-benar mengalami pertobatan pribadi, rajin mengaku dosa dan berubah total dalam hidup. Tentu saja tidaklah mudah karena imam juga manusia tetapi kalau ada kasih karunia dari Tuhan maka saya pasti bisa. St. Theresia dari Kalkuta pernah berkata: “Beberapa orang kudus menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan karena mereka melihat Tuhan, mereka melihat diri mereka sendiri dan mereka melihat perbedaan dengan Tuhan.”

Pikiran kedua, penyesalan. Saya tertarik dengan sikap Tuhan terhadap orang-orang Niniwe yang bertobat: “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” (Yun 3:10). Saya merasa malu karena Tuhan begitu hebat. Dia sudah marah dan kesal dengan orang Niniwe bahkan merancang malapetaka tetapi ketika melihat mereka bertobat maka Tuhan menyesal karena sudah merancang malapetaka.

Saya mengatakan ‘merasa malu’ karena banyak kali saya dan mungkin anda juga seperti saya sulit untuk melupakan kesalahan orang lain. Kita malah merancang ‘pikiran jahat’ dan meskipun orang sudah datang dan meminta maaf tetapi hati tetap keras dan tidak mau memaafkan. Lalu hari Minggu tetap terima komuni meskipun secara rohani. Apakah Tuhan Yesus mesti diterima di tempat yang kotor dan bau seperti perut ikan yang dialami Yunus? Seharusnya kita malu dan kembali kepada Tuhan. Tuhan saja menyesal, mengapa kita sulit untuk menyesal? Apa untungnya kita seperti itu? Saya yakin tidak ada untungnya. Semua itu hanya gengsi dan egonya diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Masa prapaskah menjadi momen pembaharuan yang radikal bagi kita. Mari kita belajar malu dan membaharui diri kita.

Tuhan ampunilah dosa kami. Amen.

P. John Laba, SDB