Hari Selasa Pekan V Paskah
Kis. 14:19-28;
Mzm. 145:10-11,12-13ab,21;
Yoh. 14:27-31a
Damai Tuhan selalu besertamu
Adalah Adelaide Anne Procter (1825-1864). Penyair berkebangsaan Inggris ini pernah berkata: “Joy is like restless day; but peace divine like quiet night; Lead me, O Lord, till perfect Day shall shine through Peace to Light.” (Sukacita seperti hari yang gelisah; tapi damai ilahi seperti malam yang tenang; Pimpin aku, ya Tuhan, sampai Hari yang sempurna akan bersinar melalui Damai menuju Terang). Saya tertarik dengan perkataan ‘damai ilahi seperti malam yang tenang’. Pada saat sedang menulis ini saya hanya membayangkan saja damai yang tenang karena di luar masih ada saudara-saudara sedang berdoa selama bulan puasa.
Selama hari-hari terakhir ini saya mengikuti berita dan komentar-komentar di media sosial. Ada nitizen +62 yang mengatakan bahwa puasa tahun ini penuh dengan kedamaian karena tidak ada sweeping dari ormas tertentu yang sudah dibubarkan, lagi pula pemimpinnya sudah dikurung dan tak berdaya. Hanya satpol pp di daerah tertentu yang masih beraksi. Suasana damai bagi para nitizen adalah ‘damai dari’ bukan ‘damai untuk’. ‘Damai dari’ itu sifatnya eksternal dan ini sangat diharapkan banyak orang. ‘Damai dari’ itu sifatnya temporal, hanya semata-mata berdasar pada situasi dan kondisi sesaat saja. Tidak ada yang abadi dalam damai seperti ini. ‘Damai untuk’ lebih bersifat eksistensial. Orang berpikir bahwa dia memiliki damai secara internal untuk sebuah kebaikan tertentu. ‘Damai dari’ sangat mendasar di dalam hidup manusia.
Saya tertarik dengan perkataan Tuhan Yesus pada malam perjamuan terakhir. Ia berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” (Yoh 14:27). Tuhan Yesus memiliki trust atau kepercayaan kepada manusia yang rapuh. Sebab itu Ia berani tinggalkan damai-Nya pada manusia. Dia berani memberikan damai-Nya kepada manusia. Bahkan damai Tuhan Yesus itu tidak seperti yang dunia berikan kepada manusia. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa Dia tinggalkan dan berikan damai kepada ‘kalian’ tetapi kepada kita secara pribadi. ‘Kutinggalkan bagimu, Kuberikan kepadamu’. Damai itu diberikan secara pribadi kepada kita yang percaya kepada-Nya.
Apa yang harus kita lakukan? Kita bersyukur karena mungkin saja orang lain mudah kehilangan kepercayaannya kepada kita, tetapi Tuhan tidak pernah kehilangan kepercayaan-Nya kepada kita. Dia tetap percayakan damai-Nya kepada kita. Sebab itu tugas kita adalah membawa damai Tuhan kepada sesama. Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”. (Mat 5:9). Luar biasa Tuhan kita. Kalau kita bisa membawa damai yang Tuhan tinggalkan dan berikan kepada kita maka betapa indahnya. Tuhan sendiri menjadikan kita sebagai orang yang bahagia dan menjadi anak-anak Allah. Ini adalah martabat yang luhur yakni sebagai anak-anak Allah.
Apakah kita sungguh-sungguh anak Allah?
Silakan bawalah damai kepada semua orang, mereka yang tak memiliki damai dalam hatinya, damai dalam keluarganya maka tugas kita sebagai anak-anak Allah adalah membawa damai kepada mereka.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip St. Theresia dari Kalkuta: “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai.” Mari kita melayani dengan sukacita sehingga damai menjadi milik kita. Sukacita hanya ada di dalam Tuhan. Apakah ada damai dalam hatimu? Apakah anda bisa membawa damai kepada mereka yang tidak memiliki harapan akan damai sejahtera dalam hidup mereka? Damai Tuhan besertamu.
Tuhan berikan damai-Mu kepada kami. Amen.
P. John Laba, SDB