Berempati atau bersimpati?
Empati merupakan kemampuan kita untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain dalam suatu situasi dari sudut pandang mereka, bukan dari sudut pandang kita sendiri. Empati memang berbeda dengan simpati, karena simpati merupakan keadaan di mana seseorang digerakkan oleh pikiran dan perasaan orang lain tetapi menjaga jarak emosional. Empati itu lebih tinggi dan sempurna dari pada simpati. Perasaan simpati itu seperti kita sedang melihat seseorang yang sedang berada di dalam sebuah lubang yang dalam, dan kita sendiri tetap berada di tempat yang lebih tinggi dan berbicara dengan mereka dari kejauhan. Orang yang bersimpati mungkin juga mencoba untuk sekadar memberi hikmah pada situasi orang lain alih-alih mengakui rasa sakit orang tersebut. Sebaliknya, empati adalah sehati seperasaan dengan orang tersebut, kita ikut turun ke dalam lubang itu untuk duduk di sampingnya, membuat diri kita tulus membangun relasi dengan mereka. Orang yang berempati akan mengakui perjuangan orang tersebut tanpa mengecilkannya.
Pada hari ini saya merenungkan perkataan St. Yakobus tentang perbuatan baik yang harus kita lakukan kepada sesama sebagai tanda bahwa kita beriman. Saya lebih membacanya sebagai kemampuan untuk membentuk perasaan empati di dalam hidup kita bukan sekedar perasaan simpati. St. Yakobus berkata: “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yak 2:15-17). Iman yang tidak disertai perbuatan baik itu mati. Iman yang disertai perbuatan baik akan memiliki daya menyelamatkan. Perbuatan baik adalah sebuah tanda empati yang patut kita miliki dalam hidup setiap hari. Kita hidup berdampingan dengan sesama, kita berempati dengan sesama bukan sekedar bersimpat saja. Perbuatan baik haruslah menjadi kenyataan bukan hanya sekedar ‘lip service’ saja.
Dalam masa pandemi ini sangat dibutuhkan orang-orang yang berempati bukan sekedar simpati. Orang lebih mudah menaruh simpati kepada sesama dengan berkata, “kasihan ya” tetapi sulit untuk menghapus kata ‘kasihan ya’ yang sedang melekat pada sesamanya itu. Orang-orang yang berempati tidak akan mengatakan ‘kasihan ya’ tetapi akan hadir aktif untuk ikut merasakan penderitaan, pergumulan sesama dan berusaha untuk mengentaskannya dari ikatan penderitaan dan kemalangan yang dia alami. Orang itu akan berempati secara kognitif, emosional and penuh kasih kepada sesamanya. Saya merasa yakin bahwa banyak di antara kita yang selama masa pandemi ini menunjukkan perasaan empati kepada sesama. Tidak ada yang merasa terpaksa untuk menolong sesama.
Apakah anda benar-benar memiliki perasaan empati atau simpati kepada sesama? Mintalah kepada Tuhan untuk memberikan perasaan empati di dalam hidupmu. Perasaan empati atau berbela rasa kepada sesama sangat dibutuhkan masa kini. Ubahlah hidup egoistismu dengan empati yang menguatkan dan menyelamatkan sesama manusia.
Tuhan memberkatimu selalu.
P. John Laba, SDB