Salibku, Salibmu, Salib Kita
Mengakhiri hari ini saya kembali memandang salib. Setiap kali keluar dari ruang kerjaku, menaiki tangga menuju ke kamar tidurku, saya melihat sebuah salib yang digantung di dinding. Ada tulisan: “In Cruce salus” artinya Dalam Salib ada keselamatan. Setiap pagi, siang dan malam saya selalu diingatkan melalui salib dan tulisan ini. Pada hari ini saya sungguh merasa dibarui oleh Tuhan karena sekali lagi Dia mengingatkan: “Dalam Salib ada keselamatan”. Di tempat lain saya menemukan “In Cruce Salues et Vita”. Dalam Salib ada keselamatan dan hidup. Ungkapan-ungkapan ini sangat menguatkan dan menginspirasi untuk lebih dekat lagi dengan Tuhan Yesus Kristus.
Saya mengingat perkataan santo Antonius Padua. Ia pernah berkata: “Orang Kristen harus bersandar pada Salib Kristus sama seperti para musafir bersandar pada tongkat ketika mereka memulai perjalanan yang panjang. Mereka harus memiliki sengsara Kristus yang tertanam di dalam pikiran dan hati kita, karena hanya dari-Nya kita dapat memperoleh kedamaian, rahmat, dan kebenaran.” Saya menyukai perkataan orang kudus ini. Kita harus bersandar pada Salib Kristus seperti musafir bersandar pada tongkatnya. Saya membayangkan ketika dia bersandar pada tongkatnya, dia bertahan dalam segala kelelahan karena perjalanan yang jauh.
Salib adalah bagian dalam hidup kita. Ada salibku, salibmu dan salib kita. Setiap pribadi memiliki salib tersendiri. Anda memiliki salibmu tersendiri. Kita semua memiliki salib. Artinya semua orang tidak bisa menghindari diri dari Salib, malah bersandar padanya. Salib adalah pengalaman penderitaan, pengorbanan diri hingga berdarah-darah dalam diri kita supaya sesama yang lain dapat berbahagia dan diselamatkan. Tuhan Yesus menunjukkan teladan dengan memikul salib hingga wafat untuk menyelamatkan manusia. Saya, anda dan kita semua juga dapat mengorbankan diri, menderita supaya sesama kita dapat merasa bahagia dalam hidupnya. Pikirkanlah orang-orang yang tidak memiliki kebiasaan menghargai orang lain maka dengan sendirinya hidupnya hanya untuk menghina orang lain. Seharusnya kita berusaha untuk memperbaiki diri, siap untuk memikul salib hari demi hari.
Saya menutup permenungan ini dengan mengutip Santo Paulus yang berkata: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20). Perkataan Santo Paulus ini haruslah menjadi pedoman dalam hidup kita untuk bersatu dengan Tuhan.
Tuhan memberkati kita semua,
P. John Laba, SDB