Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVIIB – 2021

Hari Minggu Biasa XXVII/B
Kej. 2:18-24;
Mzm. 128:1-2,3,4-5,6;
Ibr. 2:9-11;
Mrk. 10:2-16

Cinta kasih adalah segalanya

Saya pernah diundang untuk merayakan misa ulang tahun perkawinan ke-50 sepasang suami dan istri yang sudah disapa oma dan opa. Keduanya berusia sekitar tujuh puluhan tahun dan kelihatan keduanya masih segar dan akrab. Saya sempat berbincang-bincang dengan mereka berdua sebelum merayakan misa syukur. Saya bertanya kepada mereka berdua tentang suasana perjalanan panjang hidup berkeluarga mereka. Kedua-duanya banyak bercerita dan sepakat untuk mengakui hal-hal yang mirip bahwa mereka dapat melewati perjalanan panjang pernikahan mereka dengan gembira karena kasih: “Semua yang kami alami berdua karena kasih!” Dan bahwa kasih itu penuh dengan perjuangan. Kasih dengan tidak menghitung-hitung kesalahan yang dibuat salah satu di antara mereka berdua.

Saya menganggukan kepala dan merasa terberkati karena bisa bertemu dengan orang-orang yang berjuang untuk menguduskan hidup perkawinan mereka hingga usia senja. Saya membayangkan bahwa pengakuan mereka berdua ini turut mempertegas kebenaran perkataan Adam di dalam Kitab Kejadian tentang Hawa: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku… Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:23-24). Perkataan yang sama ini diulangi kembali oleh Yesus di dalam Injil Markus dengan menambahkan: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mrk 10:9).

Tuhan memiliki rencana yang indah bagi pria dan wanita untuk hidup sepadan atau cocok satu sama lain. Kecocokan itu diawali sejak kisah penciptaan di dalam Kitab Kejadian. Adam diminta oleh Tuhan untuk menamai semua hewan ternak, burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang hutan. Semua hewan ini diciptakan untuk menjadi penolong bagi manusia namun manusia pertama sendiri tidak menemukan penolong yang sepadan dengannya. Tuhan berkata: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej 2:18). Karena tidak ada kesepadanan antara manusia dan ternaknya maka Tuhan lalu menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Benarlah perkataan ini: “Wanita tidak dicipta dari kepala laki-laki (Adam), supaya tidak melebihi atau mengungguli kodrat laki-laki. Wanita tidak dicipta dari kaki, supaya wanita tidak dihinakan oleh laki-laki atau diinjak laki-laki, karena dia adalah bagian dari tubuhnya. Wanita tidak diciptakan dari tanah, karena wanita memang kodratnya tidak sama dengan laki-laki. Wanita dicipta dari tulang rusuk laki-laki, karena memang untuk dijadikan pasangan laki-laki, menjadi pendamping laki-laki, menjadi kesenangan laki-laki, memperkuat dada laki-laki dan sekaligus menjadi penyeimbang hidup laki-laki.” Kata kuncinya adalah kesepadanan atau kecocokan.

Satu masalah yang diangkat dalam bacaan Injil adalah tentang perceraian. Fenomena perceraian ini meningkat tajam pada masa pandemi ini karena alasan berupa kesulitan ekonomi. Pada tahun-tahun sebelum pandemi juga menunjukkan trend meningkat. Pada 2015 sebanyak 5,89 persen pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan. Ini berarti institusi keluarga mendapat kesulitan yang luar biasa dalam masyarakat kita. Khusus dalam masa pandemi, angka perceraian dalam keluarga terus meningkat. Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa factor-faktor penyebab perceraian di masa pandemi ini karena terjadi konflik dan perselisihan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh pertengkaran atau perselisihan dan permasalahan ekonomi karena banyak pekerja yang di PHK secara mendadak, sehingga keuangan keluarga menjadi tidak stabil. Mayoritas istri mengungkapkan bahwa alasan utama yang melatar belakangi terjadinya perceraian yaitu faktor ekonomi dikarenakan suami tidak mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar keluarga dikarenakan jumlah pendapatan yang kurang muncukupi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan interaksi dan komunikasi yang baik di tengah persoalan atau konflik yang menimpa pasangan suami istri untuk mencegah terjadinya perceraian serta suami istri harus dalam satu frekuensi saat menyelesaikan masalah supaya tercipta keharmonisan dalam keluarga.

Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan bahwa perceraian itu terjadi karena ketegaran hati, sikap egois manusia. Di dalam Kitab Perjanjian Lama dikatakan bahwa Tuhan tidak pernah menjadikan manusia untuk mendapatkan peluang bercerai bagi diri-Nya sendiri. Justru ketegaran hati manusia ini maka terjadilah perceraian. Orang lebih fokus pada dirinya sendiri, kecenderungan untuk memperhatikan dirinya lebih dari orang lain terutama pasangan hidupnya. Sikap egois tetap menguasai hidup manusia. Maka dalam konteks perkawinan, banyak orang muda harus berpikir dan mengambil keputusan tentang menikah atau tidak menikah. Sebab dengan menikah, ada perkataan ini, “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”

Dari perkataan Tuhan di dalam Kitab Suci dan pengalaman pelayanan sebagai gembala, sungguh mempertegas sifat hakiki dari perkawinan Katolik yakni pertama, perkawinan Katolik adalah perkawinan antara satu pria dan satu wanita. Kita semua langsung mengerti bahwa tidak ada poligami dan poliandri dalam perkawinan Katolik. Secara kodrati, perkawinan antara satu pria dan satu wanita ini bertujuan untuk membentuk dan membangun kesatuan antara dua pribadi. Dalam Bahasa Kitab Suci pria dan wanita meninggalkan keluarga alamiahnya yakni : “pria dan wanita itu menjadi satu daging”. Cinta yang total dari suami dan istri menjadi serupa dengan cinta antara Yesus Kristus dan Gereja. Cinta kasih yang penuh dengan pengorbanan diri. Kedua, bahwa perkawinan di dalam Gereja Katolik itu tidak dapat diceraikan. Suami dan istri saling mencintai sepanjang hidup karena mereka diciptakan sepadan atau cocok satu sama lain dalam rencana Tuhan Allah. Pasangan suami dan istri tetap belajar dari Tuhan Yesus sendiri yang mencintai Gereja hingga tuntas. Bahwa ada perbedaan pendapat, dan masalah-masalah juga pergumulan hidup sebagai suami dan istri adalah bumbu-bumbu yang membuat cinta kasih semakin nikmat dirasakan secara pribadi maupun bersama di dalam keluarga.

Pada hari Minggu ini kita semua terpanggil untuk mempersembahkan sebuah Rosario istimewa untuk orang tua kita masing-masing dan para suami dan istri untuk setia selamanya sebagai satu daging. Doa yang sama bagi keluarga-keluarga yang sedang bergumul di masa pandemi ini. Ketika para pasutri setia dalam panggilannya maka secara tidak langsung mendukung kami para imam, biarawan dan biarawati untuk semakin kuat dan setia dalam panggilan, sebab cinta kasih itu dialami mulai dari keluarga masing-masing. Tuhan menjaga, melindungi dan menyuburkan cinta kasih para suami dan istri. Keluarga kudus, doakanlah keluarga-keluarga kami. Amen.

P. John Laba, SDB