Homili 5 Oktober 2021 – St. Faustina Kowalksa

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXVII
Yun. 3:1-10;
Mzm. 130:1-2,3-4ab,7-8;
Luk. 10:38-42

Belajar pada Tuhan

Pada hari ini kita mengenang sosok seorang wanita kudus. Namanya St. Faustina Kowalska. Orang-orang yang berdevosi kepada kerahiman pasti merasa akrab dengan orang kudus ini. Ada dua kutipan yang menginspirasi saya. Pertama, pada suatu kesempatan Ia berkata: “Aku merasa yakin bahwa misiku tidak akan berakhir sesudah kematianku, melainkan akan dimulai. Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung surga guna meyakinkan kalian akan kebajikan Allah” (Buku Catatan Harian, 281). Perkataannya ini benar-benar menjadi kenyataan. St. Faustina dikenal di mana-mana sebagai rasul kerahiman. Ia memiliki kedekatan dengan sosok Bunda Maria dan Yesus Kristus. Di tempat lain, ia berkata kepada Tuhan: “Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an PutraMu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, sebagai pendamaian dosa kami dan dosa seluruh dunia; demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia”. (Buku Catatan Harian, 476). Hari-hari hidupnya penuh dengan persembahan kepada Tuhan.

Melalui bacaan-bacaan Kitab Suci kita berjumpa dengan sosok-sosok inspiratif. Sosok pertama adalah nabi Yunus. Dikisahkan dalam bacaan pertama bahwa untuk kedua kalinya Tuhan Allah meminta Yunus untuk bangun dan berangkat ke Niniwe supaya menyerukan pertobatan. Kali ini Yunus menunjukkan ketaatannya kepada Tuhan Allah. Ia pun menyerukan pertobatan kepada bangsa Niniwe dengan berkata: “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” (Yun 3:4). Orang Niniwe percaya kepada Tuhan Allah dan merekapun tergerak untuk melakukan puasa, dan orang dewasa yang dewasa dan anak-anak mengenakan kain kabung. Hal yang lebih mantab lagi adalah ketika raja Niniwe mendengar seruan Yunus untuk bertobat, sang raja pun turun dari singgasananya, meninggalkan jubahnya, mengenakan kain kabung dan duduk di atas abu. Manusia, hewan dan ternak peliharannya tidak boleh maka apa-apa dan minum air, berselubungkan kain kabung dan bertobat.

Tuhan merasa puas dengan pelayanan dan seruan tobat yang diucapkan Yunus di Niniwe. Sebab itu, meskipun sebelumnya Tuhan Allah kecewa dengan perilaku dosa mereka namun dengan pertobatan yang mereka lakukan membuat Tuhan menunjukkan kerahiman-Nya kepada mereka. Dikatakan begini: “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” (Yun 3:10).

Bagi saya, Tuhan Allah memang luar biasa. Pada hari ini Dia mengubah kiblat hidup kita untuk selalu melihat manakah hal yang terbaik di dalam hidup sesama. Benarlah perkataan Tuhan kepada Samuel: “Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1Sam 16:7). Banyak di antara kita masih terbiasa melihat penampilan luar dan lupa bahwa yang ada di dalam lubuk hati manusia tentu hal-hal terbaik bukan hal-hal terburuk. Pada hari kita belajar untuk menyesal ketika kita memikirkan hal-hal yang jelek atau negative terhadap sesama. Selalu berpikiran positif adalah kunci utama bagi kita untuk hidup berdampingan dengan Tuhan dan sesama kita.

Dalam bacaan Injil, kita berjumpa dengan sosok Maria dan Marta, para saudara Lazarus. Marta berarti ibu rumah atau sang pemilik rumah. Dia menunjukkan dirinya dengan sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Ia sibuk untuk melayani Yesus terutama bagaimana menjamu Yesus dan para murid-Nya. Hal ini berbeda dengan sosok saudaranya Maria yang duduk dan mendengar semua perkataan Yesus. Secara manusiawi Marta mengharapkan bantuan Maria untuk ikut melayani. Namun Yesus mengatakan bahwa Marta terlalu menyibukan diri dengan urusan-urusan duniawi, Maria memilih yang terbaik yakni setia mendengar sabda Yesus. Tentu saja kedua sosok kakak beradik ini saling melengkapi satu sama lain. Kita melayani Tuhan dengan berbagai cara: dengan kekuatan tenaga dan juga dengan semangat mendengar Sabda seperti yang dialami Marta dan Maria. Dua pribadi yang kiranya menyatu dalam hidup kita sebagai pengikut Kristus. Hal yang penting adalah selalu berbuat baik dan menjauhkan kejahatan.

Kita kembali kepada sosok Tuhan yang Maharahim. Dalam bacaan pertana dikisahkan bahwa Tuhan saja menyesal atas rancangan-Nya bagi manusia yang jahat ketika mereka benar-benar bertobat dan kembali ke jalan Tuhan. Orang bertobat berarti mereka mau mengalami Allah dalam hidupnya. Bagaimana dengan kita? Kita sendiri masih kesulitan untuk move on ketika mengetahui bahwa ada sesama kita yang hidupnya tidak benar. Mereka yang mengalami penderitaan namun mereka tetap kurang diperhatikan. Tuhan memberkati, Bunda Maria Ratu Rosario mendoakan kita semua.

P. John Laba, SDB