Semakin serupa dengan Bunda Maria
Selamat hari terakhir dalam bulan Oktober 2021 ini. Saya menutup Bulan Oktober ini dengan sebuah renungan tentang Bunda Maria sebagai sosok yang membantu kita untuk mendengar dan mengasihi Tuhan dan sesama manusia dengan segenap hati.
Sebelumnya saya menceritakan sebuah pengalaman pelayanan saya di hari Minggu ini. Pada siang hari tadi saya merayakan misa syukur pernikahan sepasang suami dan istri yang ke-55. Sebelum perayaan Ekaristi berlangsung, saya ngobrol sebentar dengan pasutri yang sudah disapa oma dan opa yang berusia di atas delapan puluh tahun namun masih kelihatan sehat-sehat saja. Saya bertanya kepada mereka berdua, kiat untuk menjadi pasutri yang bahagia hingga memasuki usia perkawinan ke-55. Mereka berdua memberi jawaban yang sangat menginspirasi. Pertama, mereka berdua memiliki komitmen dari awal untuk saling mendengar satu sama lain. Kedua, mereka berkomitmen untuk menyerahkan diri kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Setiap kali mereka mengalami kesulitan dalam relasi mereka sebagai suami dan istri, mereka selalu mengingat kedua komitmen ini.
Saya mengagumi oma dan opa yang setia hingga usia perkawinan ke-55 ini. Kedua komitmen mereka kedengaran sederhana tetapi tentu saja penuh perjuangan setiap saat, satiap hari hingga saat ini. Menjadi pribadi yang setia dalam mendengar satu sama lain memampukan mereka untuk saling mengenal lebih dalam dan mencintai dengan sepenuh hati. Banyak pasutri yang gagal dalam perkawinan, imam dan biarawan dan biarawati yang gagal dalam panggilan karena mereka belum mampu mendengar dan konsekuensinya mereka juga tidak mampu mengasihi Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati. Menjadi pribadi yang penuh penyerahan diri seperti Bunda Maria adalah sebuah harapan kita semua. Bunda Maria menunjukkan teladan hidupnya dengan mendengar Sabda dan melakukannya sebagai ibu sang Sabda. Dia mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan mengasihi kita sebagai ibu sang Penyelamat. Dialah abdi Tuhan dan ibu rohani kita semua.
Keteladanan opa dan oma yang berbahagia dalam pernikahan mereka dan sosok Bunda Maria sebagai orang kudus menginspirasi kita untuk mampu mendengar dan mengasihi Tuhan dan sesama. Bacaan pertama dan bacaan Injil sama-sama mengatakan tentang kedua kata ini: ‘mendengar dan mengasihi’. Seorang yang mampu mendengar dengan baik, dengan sendirinya dia akan mampu mengasihi dengan sepeniuh hati. Tuhan sungguh baik, Dia menciptakan bagi kita dua telinga untuk mendengar dua kali lebih lebih banyak dan berbicara lebih sedikit karena hanya memiliki satu mulut. Semakin kita banyak mendengar dan sedikit berbicara, semakin kita juga mampu mengasihi. Kita memiliki telinga (EAR) untuk mendengar (to hEAR) dan dengan demikian kita mampu mengasihi dengan hati (hEARt) yang tidak terbagi bagi Tuhan dan sesama.
Cinta kasih kepada Tuhan dan sesama itu seperti Salib. Palang kayu yang tegak itu menandakan relasi kasih yang total Tuhan dan manusia dan sebagai manusia dengan Tuhan. Namun kalau hanya kayu yang tegak saja maka belum bermakna apa-apa. Ketika pada kayu yang tegak itu ditambahkan palangnya akan membentuk sebuah salib. Palang kayu itu ibarat kasih kita kepada sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kita mengingat perkataan St. Yohanes ini: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1Yoh 4:20). Ketika kita memandang salib, kita mengingat Yesus sang Imam Agung yang selalu membuka tangan-Nya untuk merangkul, menerima dan menebus kita semua. Mari kita berusaha semakin serupa dengan Bunda Maria untuk mendengar dan mengasihi Tuhan dan sesama.
Tuhan menjaga dan melindungi kita semua dengan berkat-berkat-Nya dan Bunda Maria mendoakan kita sekarang hingga saudara maut menjemput. Amen.
P. John Laba, SDB