Homili 5 November 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXI
Rm. 15:14-21;
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4;
Luk. 16:1-8

Tidak hanya pintar tetapi cerdas juga!

Saya selalu mengingat perkataan seorang guru saya zaman doeleo. Ia mengatakan bahwa harapan seorang guru adalah supaya para murid-Nya tidak hanya menjadi orang pintar tetapi juga orang cerdas. Perkataan itu selalu tertanam dalam hati dan pikiran kami. Menjadi orang pintar berarti menjadi orang yang mengetahui, pandai dan memiliki ilmu tertentu. Maka orang pintar selalu dikaitkan dengan prestasi akademik sebab mereka selalu bergelut pada ilmu tertentu. Orang pintar atau pandai itu mampu mencerna apapun dengan sempurna sehingga memiliki pengetahuan yang sangat luas. Mereka memiliki disiplin dan keteraturan sehingga mampu mengerjakan setiap hal yang dipercayakan kepadanya. Tentang orang cerdas, mereka tidak terpaku pada teori namun lebih terhadap upaya untuk memahami konsep. Senjata utama orang cerdas adalah logika, dan pengetahuan yang ia terima dari teori hanyalah sebagai pendukung saja. Maka orang cerdas, tidak hanya menguasai satu materi saja tetapi mampu menguasai beberapa bidang tertentu, seperti musik, olahraga, seni, dan lainnya. Dari deskripsi orang pintar dan cerdas ini, maka saya sepakat dengan perkataan guru di sekolah yang mengharapkan supaya kami tidak hanya menjadi pintar tetapi juga cerdas di dalam hidup ini. Orang yang cerdas adalah cerdik dan cermat dalam melihat sesuatu. Di dalam kecerdasan itu ada kepintaran

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang sangat menarik. Perkataan Yesus ini ditujukkan kepada para murid-Nya tentang seorang kaya yang memiliki seorang bendahara yang telah menghamburkan harta milik tuannya, dan tentu saja dia akan dipecat dari jabatannya namun tuan itu malah memujinya karena kecerdikan yang dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh bendahara itu? Bendahara itu duduk dan berpikir seperti ini: “Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu. Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka.” (Luk 16:3-4). Dalam situasi seperti ini, sang bendahara menggunakan kecerdasan atau kecerdikannya untuk dapat bahagia kalau sudah dipecat tuannya.

Inilah cara cerdas bendahara untuk mencari rasa aman setelah dipecat: “Ia memanggil seorang demi seorang yang berhutang kepada tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah hutangmu kepada tuanku? Jawab orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, duduklah dan buat surat hutang lain sekarang juga: Lima puluh tempayan. Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang lain: Delapan puluh pikul.” (Luk 16:5-7). Cara cerdas dan cerdik dari bendahara ini mendapatkan pujian dari tuannya. Bendahara itu sudah mengamankan masa depannya.

Mungkin kita bertanya, mengapa tuan yang kaya bersikap demikian? Bukankan sikap bendahara ini layak untuk diadukan ke pihak yang berwewenang untuk dihukum? Memang perbuatan sang bendahara ini layak untuk dihukum namun tuan yang kaya ini memuji kecerdikannya untuk nyaman di masa depan setelah dipecat. Kerugian tentu tetap dialami tuannya tetapi kecerdikan pribadi sang bendahara akan membuatnya nyaman. Tuhan Yesus bercerita kepada para murid-Nya bahwa tuan yang kaya ini memuji kecerdikan sang bendahara karena ia memang pandai memperhitungkan jaminan bagi masa depannya. Demikian juga harapan dari Tuhan Yesus bagi para murid-Nya sebagai anak-anak terang adalah supaya mereka dan kita semua mampu mencari jalan yang tepat untuk dapat memperoleh kebahagiaan abadi. Jadi di sini Tuhan Yesus tidak mengajarkan kita untuk bersikap curang seperti bendahara ini tetapi cara yang tepat untuk mencapai keselamatan.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Kita tidak hanya belajar pada cara cerdas sang bendahara untuk merasa nyaman di masa depan. Kita perlu belajar dari keteladan Santo Paulus yang menunjukkan kecerdasannya dalam merasul dan mewartakan Injil. Kepada jemaat di Roma Paulus mengatakan bahwa karena kasih karunia maka ia berani mengingatkan jemaat di Roma dalam tulisan sekaligus kesaksiannya: “Aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus. Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah.” (Rm 15:16-17). Ini merupakan rasa bangga dari Paulus untuk melayani pemberitaan Kristus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Rasa bangga dalam mewartakan Injil bukan semata-mata karena Paulus pandai tetapi juga cerdas sehingga memenangkan hati banyak orang dan mereka terbuka untuk menerima Injil.

Pada hari ini Tuhan menyapa kita untuk memanfaatkan potensi-potensi terbaik di dalam hidup kita untuk menjadi pribadi yang terbaik di dunia hingga di surga sebagai tempat tujuan kita yang sebenarnya. Kita perlu memiliki jalan yang tepat untuk masuk ke dalam keabadian. Misalnya nilai keadilan, kasih, kejujuran, keterbukaan dan rasa syukur perlu kita kembangkan sebagai anak-anak terang di dunia. Kita dipanggil Tuhan bukan hanya untuk menjadi orang pandai tetapi juga orang cerdas untuk menggapai keabadian bersama sang Abadi yaitu Tuhan sendiri.

P. John Laba, SDB