Homili 15 Januari 2022

Hari Sabtu, Pekan Biasa I
1Sam. 9:1-4,17-19; 10:1a
Mzm. 21:2-3,4-5,6-7
Mrk. 2:13-17

Berpikir Positif itu perlu!

Saya pernah mendengar sharing seorang pemuda di tempat kerjanya. Ia baru saja memulai pekerjaan di tempat baru. Sebelumnya ia pernah magang di sebuah perusahaan yang baginya sangat mendewasakan dan membuatnya belajar untuk menjadi professional. Di tempat baru itu ia berjumpa dengan pribadi-pribadi yang sudah memiliki banyak berpengalaman ‘berada’ di dalam ruangan itu. Ia berharap bahwa tempat ini juga nantinya menjadi tempat yang baik baginya untuk belajar sekaligus mencari tantangan baru bagi hidup dan karyanya. Setelah seminggu ia mulai merasa bahwa ruangan itu sebenarnya ‘berbau amis’ dan pribadi-pribadi itu ibarat pohon yang sudah lama ditanam maka sulit sekali untuk dicabut. Ide-ide baru yang lebih praktis selalu mental. Orang memang sudah terbiasa dengan pola hidup yang lama dan sulit untuk berubah. Ia sudah merasa seolah-olah menjadi ‘lawan’ baru di dalam ruangan itu. Dia cepat menyadari hal ini dan menguatkan dirinya dengan berdoa dan tetap berbuat baik kepada mereka semua. Ia berprinsip: “Saya adalah pribadi yang selalu mencoba untuk berpikiran positif dan saya pikir itulah yang paling membantu saya dalam saat-saat sulit.” Ia berharap bahwa masa depan masih tetap ada baginya di tempat baru itu.

Pengalaman pemuda ini kiranya menjadi pengalaman banyak orang, mungkin juga pengalaman pribadi anda ketika memulai pekerjaan di tempat baru dan berjumpa dengan orang-orang yang lebih mengandalkan pengalaman dan tidak mudah menerima perubahan-perubahan dalam hidupnya. Situasi seperti mudah membuat orang berpikir negatif terhadap sesamanya meskipun berada di tempat kerja yang sama, bahkan bisa juga berada di dalam satu keluarga yang sama. Ada perasaan cemburu dan iri hati karena orang lain adalah pembanding bagi diri kita. Kalau saja orang itu beprestasi atau berbuat baik maka orang lain kurang melihat kebaikan yang dimiliki atau dilakukan tetapi berpikir negatif, mencurigai bahkan membunuh karakter orang lain.

Dalam masyarakat kita saat ini sedang terjadi sebuah ‘pergolakan’ karena ada anak milenial tertentu yang memulai bisnis startup dan berkembang pesat. Orang-orang yang kelihatan mapan ternyata belum mapan sehingga berada dalam ruang heran, sakit hati, berpikiran negatif bahkan melaporkan ke KPK dengan dalil yang dibuat-buat. Ada yang merasa ini adalah bentuk pansos para gelandang politik. Saya lebih melihat bagaimana orang mudah terpenjara dalam ruangan ‘berpikir negatif’ dan mematikan karakter orang lain. Kita yang masih waras hanya merasa heran karena di dunia ini masih ada orang yang seperti itu: hatinya penuh kebencian dan tidak mau orang lain berkembang. Orang mau supaya kita tetap seperti ini saja sudah cukup.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus yang indah dalam Injil Markus. Setelah Tuhan Yesus melakukan panggilan-panggilan perdana di danau, kini dia melanjutkan perjalanan dan melakukan panggilan di danau yang kedua. Dalam perjalanan itu, banyak orang tetap datang kepada-Nya untuk memohon penyembuhan dan keselamatan. Dia melihat Lewi anak Alfeus sedang duduk di meja cukai. Yesus memandangnya dengan penuh kasih dan memanggilnya: “Ikutlah Aku!” Reaksi dari Lewi adalah dia segera berdiri dan mengikuti Yesus. Yesus pasti sudah beberapa kali melihat Lewi dan mengetahui hatinya. Lewi sendiri sedang bekerja di tempat yang basah. Banyak orang pasti mau bekerja seperti dia tetapi tidak bisa, malah dia dan rekan sejawat menjadi sasaran kebencian, bully dan lainnya karena mereka mengabdi penjajah Romawi. Manusia boleh menolak Lewi dan teman-temannya, tetapi Tuhan Yesus tidak menolakya. Tuhan Yesus memanggilnya dan mengubahnya menjadi baru.

Sebagai ungkapan rasa syukur Lewi atas panggilan ini maka ia melakukan perjamuan untuk menjamu Yesus, para murid, orang banyak yang mengikuti dan rekan sejawatnya yang dilabel kaum pendosa. Sikap Yesus ini bukan diapresiasi melainkan dicemooh kaum Farisi dan para ahli Taurat. Inilah perkataan mereka: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat adalah gambaran pribadi-pribadi yang berpikir bahwa mereka lebih suci daripada orang lain. Mereka berpikir negatif terhadap Yesus, para murid dan para pemungut cukai. Seharusnya merka memberi apresiasi karena ada Yesus yang mau memihak dan mengubah hidup sesama supaya menjadi baik, jujur dan kudus. Pikiran negatif tidaklah berguna tetapi bagi mereka berguna. Di pihak Lewi dan teman-temannya yang dilabel orang berdosa, merasakan kehadiran Yesus, lawatan Yesus yang sungguh menyelamatkan. Yesus yang memberi perhatian kepada Lewi dan rekan sejawat dan mengubah hidup mereka menjadi lebih berkenan kepada Tuhan. Lewi sendiri menjadi seorang Rasul dan Penulis Injil yang kita kenal dengan nama Matius.

Masih ada banyak Lewi di sekitar kita yang mudah untuk dibunuh karakternya oleh label-label pemungut cukai, orang berdosa, neraka sebagai jaminan. Di saat seperti ini kesombongan rohani akan merajai hidup orang dan mereka berpikir bahwa hanya mereka yang paling baik dan sempurna. Hanya mereka yang mengalami rahmat Tuhan dan yang lain tidak. Ini bukan hidup Kristiani yang diajarkan Yesus. Tapi mengapa orang masih menikmati ‘berpikir negatif’ daripada ‘berpikir positif’.

Apa untungnya anda berpikir negatif kepada sesamamu? Tidak ada untungnya berpikir negative kepada sesama. Saya sepakat dengan Zig Ziglar (1926-2012). Penulis dari Amerika Serikat ini pernah berkata: “Positive thinking will let you do everything better than negative thinking will.” (Berpikir positif akan membiarkan Anda melakukan segala sesuatu lebih baik daripada berpikir negatif). Memang kita perlu menadari b ahwa semua prestasi spektakuler di dunia pasti diciptakan oleh manusia-manusia yang berpikir positif, cepat tanggap dan berani mencoba buka mereka yang terkurung dalam ruang kebencian dan iri hati. Semoga hari ini kita berusaha untuk sejenak berpikir positif, mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana.

P. John Laba, SDB