Food For Thought: Jangan menghakimi bro!

Jangan Suka Menghakimi bro!

Saya pernah menjadi guru di sekolah. Setiap kali ada pertemuan dewan guru, selalu ada keluhan umum tentang seorang siswa yang dianggap tidak maju dalam proses pembelajarannya. Kadang ada guru yang tidak segan-segan memberinya label ‘bodoh’ kepadanya. Ini adalah sebuah kekerasan verbal bagi seorang siswa yang sedang belajar, sekaligus membunuh karakter seorang muda. Saya sendiri berusaha untuk menyimak pembicaraan mereka dan saya bertanya kepada mereka apakah mereka benar-benar mengenal siswa ini atau belum mengenalnya dengan baik. Wali kelas dan guru BP masih belum mengenalnya dengan baik. Saya lalu mengingatkan mereka supaya berhenti mengatakan bahwa siswa ini ‘bodoh’ karena ini adalah sebuah labeling yang tidak positif baginya.

Pada kesempatan lain, saya memanggil siswa tersebut dan memberikan wawancara seperlunya tentang keadaan pribadi, keluarga dan kondisi fisiknya. Saya memperhatikan sorot matanya dan mengerti sesuatu dari kondisi fisiknya. Saya mengajaknya ke rumah sakit terdekat untuk memeriksa matanya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mata sebelah kirinya minus 2.75 dan sebelah kanannya 3.00 dengan silinder 125. Saya memberinya hadiah kaca mata minus pertama baginya dengan pesan singkat, ‘sukses ya nak’. Buah dari hadiah pertama ini adalah pada ujian semester, dia berhasil masuk tiga besar di dalam kelasnya dan sepuluh besar di sekolah. Sebuah prestasi akademik yang membuka mata semua pendidik dan teman-teman sekolah untuk tidak cepat-cepat melabel dan meremehkannya. Pada saat ini dia seorang peneliti profesional.

Kisah sederhana ini memperlihatkan betapa mudahnya kita melabeling seseorang yang dipercayakan kepada kita. Kalau kita sebagai orang tua, jangan pernah membandingkan anak-anak lita di depan mereka atau di depan orang lain. Memang dengan alasan ‘kesal’ pada anak maka langsung saja membandingkannya dengan saudara-saudaranya, tetapi itu bukanlah edukasi anak yang benar. Kalau sebagai pendidik, atas nama kata ‘kesal’ dan ‘membenarkan diri’ maka mudah sekali kita melabeling orang muda yang dipercayakan kepada kita sebagai orang ‘bodoh’ atau ‘dungu’. Dan perkataan ini diucapkan di dalam kelas kepadanya, di hadapan para siswa yang lain. Saya merasa yakin bahwa ini adalah sebuah kekeliruan fatal dalam memanusiakan manusia muda. Seorang edukator tidak elok berperilaku dan bertutur demikian. Jalan komunikasi dan kemampuan memahami orang muda dan kompleksitas hidupnya itu perlu dan harus bagi seorang pendidik.

Kita mengenal banyak orang yang pernah mengalami labeling sejenis, tetapi di masa depan, merekalah yang mengubah dunia ini. Sebut saja nama Albert Einstein. Beliau adalah sosok yang mengubah dunia ini dengan teori relativitasnya. Namun pada usia dininya, dia mengidap autisme dan merupakan anak yang terlambat bicara. Keterbatasannya ini mengubah hidupnya dan mengubah dunia. Sosok lain seperti Thomas Alva Edison. Ibunya bernama Nancy Edison pernah menerima sebuah surat dari guru di sekolah yang mengatakan bahwa Thomas adalah anak yang bodoh dan tuli. Kekurangan yang dimilikinya ternyata membuatnya mengubah dunia karena menemukan bola lampu pijar. Sosok lain yang mengubah dunia adalah Mark Zuckerberg. Miliarder muda ini adalah drop out dari Universitas Harvard. Dialah yang mengembangkan Facebook yang dipakai oleh banyak di antara kita. Ini hanya beberapa sosok yang saya sebutkan untuk mengingatkan kita supaya jangan terlalu cepat melabel sesama lain.

Saya teringat nasihat yang bagus dari Tuhan Yesus Kristus di dalam Injil. Dia mengatakan: “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi.” (Luk 6:37). Betapa mudahnya kita menghakimi sesama dengan melabel, mengucapkan kekerasan verbal yang dapat membunuh karakter sesama kita. Seandainya ‘sepatunya’ itu kita yang pakai maka kira-kira rasanya seperti apa. Maka kalau anda tidak mau dihakimi maka berusahalah untuk tidak menghakimi sesamamu.

Dunia ini akan berubah ketika kita menjauhkan diri dari tiga kebiasaan ini: Blaming (B) yakni kebiasaan untuk mempersalahkan orang lain dan berpikir bahwa kitalah yang paling benar. Excuse (E) adalah kebiasaan untuk mencari-cari alasan untuk menguburkan kelemahan kita. Justify (J) adalah kebiasaan untuk membenarkan diri kita sendiri. BEJ dapatlah menjadi jalan untuk menghakimi diri dan sesama yang lain. Lalu apa untungnya kebiasaan BEJ ini? Apa untungnya kita menghakimi sesama? Jawabannya, tidak ada untungnya. Ini hanya untuk mencapai kepuasan sementara di dalam diri orang-orang tertentu, termasuk saya, anda, kita semua. Mari kita berubah menjadi lebih baik lagi.

PJ-SDB