Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XI
1Raj. 21:17-29
Mzm. 51:3-4,5-6a,11,16
Mat. 5:43-48
Berapakah jumlah musuh anda?
Saya tertarik dengan sebuah pertanyaan dari seorang pengkotbah kepada jemaat dalam sebuah ibadat bersama: “Berapakah jumlah musuh anda saat ini?” Ada di antara mereka yang tersenyum sambil berbisik kepada sesama di sampingnya: “Saya memiliki banyak musuh!” Ada yang mengatakan “Saya punya satu musuh”. Kelihatan bahwa hampir semua jemaat yang hadir mengaku memiliki musuh. Tentu saja ini barusan menyangkut berapa jumlah musuh yang dimiliki. Belum ada pertanyaan selanjutnya misalnya bagaimana menaklukan musuh tersebut. Saya merasa yakin bahwa kita semua memiliki situasi yang sama dengan jemaat yang sedang beribadah karena pasti memiliki musuh. Musuh selalu menjadi lawan yang bisa berwujud sebagai benda hidup atau benda mati. Musuh adalah sesuatu yang mengancam keselamatan, kesehatan dan membuat kerusakan yang merugikan diri kita. Dan sebenarnya musuh bukan berada di luar diri kita karena musuh yang paling utama adalah diri kita sendiri.
Bagaimana diri kita bisa menjadi musuh yang pertama dan utama? Mari kita masuk di dalam diri kita sendiri dan jangan fokus kepada orang lain. Masing-masing kita memiliki keyakinan diri namun banyak kali yang ada pada kita adalah keyakinan diri yang lemah sehingga menghalangi kita untuk maju. Kita terbiasa memiliki banyak obsesi yang bisa menghalangi diri kita untuk maju. Kita mungkin sadar atau tidak terbiasa memaksakan kehendak kepada orang lain dan kalau kehendak itu tidak diterima maka kita putus asa dan kehilangan harapan. Kita terlalu lama berada di zona nyaman dan lupa untuk keluar ke zona yang lebih menantang kita untuk berkembang. Kita juga memiliki harapan-harapan yang tetap sehingga menjadi kurang fleksible. Ini adalah beberapa hal yang ada di dalam diri kita dan bisa menjadi musuh dan boomerang bagi diri kita sendiri.
Saya teringat pada Sun Tzu (544 SM – 496 SM), seorang jenderal dan penulis dari Tiongkok. Beliau pernah berkata: “Bertempur dan menaklukkan musuh dalam peperangan bukanlah kehebatan paling tinggi; kehebatan tertinggi terjadi ketika Anda mampu menghentikan musuh tanpa perlawanan.” Orang hebat menghentikan permusuhan tanpa perlu perlawanan dan penumpahan darah. Jalan dialog dan rekonsiliasi itu jauh lebih penting karena dari situ kita tetap memiliki perasaan sebagai sesama manusia. Dan sebagai umat beriman kita butuh sikap dari diri kita untuk mengasihi, mendoakan dan mengupayakan perdamaian.
Pada hari ini kita mendengar lanjutan kisah Yesus di dalam Injil Matius. Dia mengajar kita untuk mengejawantah Sabda di atas bukit dalam hidup kita sehari-hari, bahkan di dalam situasi yang ekstrim sekali pun. Tuhan Yesus berkata: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44). Pengajaran Tuhan Yesus ini boleh dibilang berlawanan dengan kebiasaan manusiawi kita. Banyak orang ketika memiliki musuh akan berusaha untuk membalas dendam atau menyakiti bahkan mau menghilangkan nyawan sang musuh. Itu baru namanya orang hebat. Tetapi Tuhan Yesus justru mengajarkan hal yang sama sekali berbeda. Musuh itu dikasihi bukan dibenci. Hanya kasih yang bisa mengubah hidup orang jahat menjadi orang baik. Musuh yang dikasihi akan berubah menjadi orang baik. Allah adalah kasih dan Dialah yang mengubah hati manusia untuk memiliki hati yang bisa mengasihi. Orang-orang yang melakukan kekerasan verbal dan kekerasan fisik perlu didoakan supaya mereka berubah menjadi lebih baik. Membalas cacian tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru yaitu sakit hati dan luka batin.
Mengapa kita perlu mengubah kiblat hidup kita di hadapan para musuh dan orang yang menganiaya secara fisik dan mental? Kita melakukannya karena Tuhan sendiri yang mengajarkan dan menunjukkan keteladanan kepada kita. Tuhan Yesus berkata: “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?” (Mt 5:45-47). Di sini Tuhan menunjukkan teladan dengan menerbitkan matahari dan menurunkan hujan untuk orang baik dan orang jahat, orang benar dan orang tidak benar. Kalau kita, mungkin hanya memilih pihak yang menguntungkan dan berguna bagi kita, di luar dari ini tidak akan masuk di dalam hidup kita. Itulah hidup kita sebagai manusia.
Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah keluarga raja Ahab dan istrinya Izebel yang melakukan kejahatan di hadapan Tuhan. Raja Ahab adalah sosok yang tahu diri dan berani mengungkapkan pertobatannya. Sebab itu Tuhan menunjukkan pengampunan yang berlimpah kepada dengan berkata: “Sudahkah kaulihat, bahwa Ahab merendahkan diri di hadapan-Ku? Oleh karena ia telah merendahkan diri di hadapan-Ku, maka Aku tidak akan mendatangkan malapetaka dalam zamannya; barulah dalam zaman anaknya Aku akan mendatangkan malapetaka atas keluarganya.” (1Raj 21:29). Tuhan tidak menghitung-hitung kesalahan, tidak menjadikan manusia sebagai musuh yang dilenyapkan tetapi menjadi pribadi yang dikasihi dan diselamatkan.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Tuhan Yesus mengharapkan supaya kita sebagai pengikut-Nya perlu hidup sebagai anak-anak Tuhan yang layak dan berkenan kepada-Nya. Anak-anak Tuhan yang dapat mengasihi semua orang, musuh sekalipun, mendoakan orang-orang yang melakukan kejahatan kepadanya, selalu berbuat baik kepada semua orang. Semua ini adalah bagian dari jati diri Tuhan yang begitu sempurna. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5:48). Orang sempurna tidak memiliki musuh, tetapi dia sebagai pribadi yang dimusuhi sesama manusia.
P. John Laba, SDB