Dissenting Opinion itu biasa saja!
Dissenting opinion atau yang lebih kita kenal sebagai perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, ibarat makanan dan minuman kita setiap hari. Tak ada hari yang berlalu tanpa dissenting opinion. Inilah pengalaman kita setiap hari, selagi kita masih bernafas. Sebagaimana kita ketahui bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah sentimen atau filsafat bukan persetujuan atau perlawanan terhadap gagasan atau entitas tertentu. Saya teringat pada seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika, namanya Adam Grant. Ia pernah berkata: “Dissenting opinions are useful even when they’re wrong. So instead of speaking to highly agreeable audiences, target suggestions to people with a history of originality” (Perbedaan pendapat berguna bahkan saat mereka salah. Jadi, alih-alih berbicara kepada audiens yang sangat menyenangkan, targetkanlah saran kepada orang-orang dengan riwayat orisinalitas).
Terlepas dari semua alasan mengapa ada perbedaan pendapat, saya merasa bahwa perbedaan pendapat dapat membawa dampak yang positif di dalam hidup pribadi kita. Karena ada perbedaan pendapat maka kita belajar untuk mawas diri, dapat menjadi lebih matang dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Kita bisa belajar untuk mengoreksi diri kita karena ada sumbangan pemikiran yang berbeda dari orang lain. Kita secara pribadi juga tidak menjadi egois malah lebih toleran dengan orang yang ada di sekitar kita. Pikiran atau wawasan kita bahkan semakin luas karena ada pemikiran yang berbeda. Maka dari itu sedapat mungkin kita berusaha untuk tidak menjadi baperan karena berbeda pendapat dengan orang lain, tidak memilih mendiamkan orang di sekitar kita karena pendapatnya berbeda bahkan menjadikannya sebagai musuh pribadi.
Gereja perdana memang memiliki semangat Cor unum et anima una (sehati dan sejiwa). Santo Lukas melukiskannya di dalam Kisah Para rasul. Namun hal ini bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Perbedaan pendapat justru mendewasakan Gereja Perdana sehingga tidak mudah terhempas badai atau angin sakal. Santo Paulus memiliki pengalaman berbeda pendapat dengan Kefas atau Santo Petrus yang diceritakannya di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (2:7-14).
Apa yang terjadi sehingga mereka berbeda pendapat?
Paulus menceritakan bahwa jemaat di Galatia melihat bahwa kepadanya telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sedangkan kepada Petrus memberitakan Injil untuk orang-orang bersunat. Tentu saja ini bukanlah masalah karena mereka baru membicarakannya dalam Konsili di Yerusalem. Paulus sendiri merasa yakin bahwa Tuhanlah yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, tuhan yang satu dan sama itu telah memberikan kekuatan kepada Paulus untuk orang-orang yang tidak bersunat. Ada kekompakan para murid di Yerusalem dan Paulus bersama rekan-rekan misionernya. Mereka tetap memperhatikan kaum miskin.
Namun apa yang membuat Paulus berbeda pendapat dengan Petrus? Ketika itu Kefas pergi ke Antiokhia yang di Siria. Paulus melihat kenyataan ini: “Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.” (Gal 2:12). Paulus menilai Petrus bersalah karena ketidakkonsistenannya. Mulainya Kefas makan sehindangan dengan kaum tak bersunat, tetapi ketika ada kaum bersunat ia menjadi jaim dan menjauhkan dirinya dari kaum tak bersunat. Akibatnya kaum Yahudi bersama Barnabas ikut-ikutan Kefas. Paulus berani mengatakan kebenaran: Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: “Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?” (Gal 2:14). Perbedaan pendapat terjadi di sini.
Kisah ini memang menarik perhatian kita. Paulus berani meninggalkan egonya dan dia memberikan koreksi kepada Kefas yang tidak lain adalah kepala jemaat, wadas yang ditentukan Yesus Kristus. Paulus mengoreksi bukan berarti membenci. Paulus memberi koreksi dan Kefas menerimanya. Kefas tidak mengambil hati dengan mengatakan kepada Paulus sebagai ‘anak baru’ dalam pemuridan Yesus. Kefas tidak mengambil status quo sebagai kepala atas jemaat pilihan Kristus sendiri. Di sinilah sebuah kekuatan di dalam Gereja. Ada perbedaan pendapat tetapi bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Di dalam gereja masa kini perbedaan pendapat itu hal biasa. Bapa suci memiliki para Kardinal dan melantik mereka, bukan berarti para Kardinal adalah kaum ‘yes man’ begitu saja kepada Bapa Suci. Ada juga Kardinal yang terang-terangan berseberangan dengan Bapa Suci. Para imam diosesan saat ditahbiskan berjanji untuk taat kepada uskupnya. Apakah semuanya taat kepada bapak Uskup? Tidak juga. Ada yang selalu berbeda pendapat dan kadang frontal dengan bapa uskup. Apakah para imam religius taat kepada provinsialnya? Tidak juga. Ada yang berbeda pendapat dan frontal dengan provincialnya. Apakah semua anggota dewan paroki selalu ‘yes man’ dengan pastor parokinya? Ternyata tidak juga. Ada juga anggota dewan paroki yang kritis dengan kebijakan pastoral di paroki meskipun sudah dibicarakan bersama dalam rapat karya. Semua ini adalah warna-warni di dalam Gereja Katolik. Namun semua ini tidak pernah mengurangi rasa cinta kepada Tuhan Yesus dan kepada Gereja-Nya.
Gereja sepanjang lebih dari 2000 tahun mengalami pengalamana Paulus dan Kefas. Gereja tetap hidup karena yang memiliki Gereja adalah Tuhan sendiri. Semua permasalahan bisa di atas dengan musyawarah dalam bentuk Sinode dan Konsili. Maka kita perlu berbangga sebagai gereja yang hidup masa kini. Beda pendapat, yes! Baperan dan bermusuhan, no way!
P. John Laba, SDB