Hari Selasa Pekan Biasa ke-3
Peringatan Wajib St. Fransiskus dr Sales
Ibr. 10:1-10
Mzm. 40:2,4ab,7-8a,10,11
Mrk. 3:31-35
Totum Amoris Est
Pada tanggal 28 Desember 2022 yang lalu, Paus Fransiskus menulis surat Apostolik ‘Totum Amoris Est’ (Segalanya tentang cinta) untuk mengenang empat abad wafatnya santo Fransiskus dari Sales. Judul surat Apostolik ini diambil dari kata pengantar buku “Risalah tentang Kasih Allah” di mana ia menulis bahwa “Di dalam Gereja Kudus, segala sesuatu berkaitan dengan kasih, hidup dalam kasih, dilakukan demi kasih, dan berasal dari kasih.” St. Fransiskus dari Sales melawan ajaran-ajaran sesat Protestan dan meletakkan dasar bagi ajaran Konsili Vatikan II tentang apa yang sekarang disebut sebagai panggilan universal untuk menjadi kudus. Ajaran ini menegaskan kembali ajaran Yesus dan Gereja perdana bahwa setiap orang Kristen yang telah dibaptis dipanggil untuk menjadi kudus, apa pun karier atau keadaannya dalam hidup. Dalam setiap karier dan keadaan dalam hidup, orang Kristen dapat menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus. Itulah makna kekudusan yang sesungguhnya.
Ada dua kutipan perkataannya yang menarik perhatian saya: Pertama, “Janganlah menantikan apa yang akan terjadi besok; Bapa yang kekal yang sama yang memelihara kamu hari ini akan memelihara kamu besok dan setiap hari. Dia akan melindungi Anda dari penderitaan, atau Dia akan memberi Anda kekuatan yang tak putus-putusnya untuk menanggungnya. Maka, jadilah tenang, singkirkanlah semua pikiran dan imajinasi yang mencemaskan, dan katakanlah terus-menerus: ‘Tuhan adalah kekuatan dan perisaiku, hatiku percaya kepada-Nya dan aku tertolong. Dia tidak hanya bersamaku, tetapi juga di dalam aku dan aku di dalam Dia.” Kedua, St. Fransiskus berkata: “Lakukan semuanya dengan tenang dan damai. Lakukan sebanyak yang Anda bisa dengan sebaik-baiknya. Berusahalah untuk melihat Tuhan dalam segala hal tanpa terkecuali, dan setujui kehendak-Nya dengan penuh sukacita. Lakukan segala sesuatu untuk Tuhan, satukan diri Anda kepada-Nya dalam perkataan dan perbuatan. Berjalanlah dengan sangat sederhana dengan Salib Tuhan dan berdamai dengan dirimu sendiri.” Bagi saya kedua kutipan ini menginspirasi kita untuk menyadari bahwa segalanya adalah kasih.
Pada hari ini kira mendengar kisah cinta antara keluarga Yesus dan Yesus sendiri. Penginjil Markus mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan ibu dan saudara-saudara-Nya datang ke tempat di mana Dia mengajar. Ibu dan saudara-saudaranya ingin menjumpai-Nya namun mengalami kesulitan untuk berjumpa dengan-Nya. Mereka lalu menyurush orang untuk memanggil-Nya. Mereka lalu berkata kepada Yesus: “Lihatlah, ibu dan saudara-saudaramu ada di luar dan berusaha menemui Engkau.” Bagi saya, Bunda Maria dan para saudara Yesus memiliki kerinduan dengan Yesus. Mereka mencari Yesus karena kasih yang besar kepada-Nya. Segalanya adalah kasih! Yesus sendiri adalah kasih Bapa bagi manusia. Reaksi Yesus ketika mendengar berita kedatangan ibu dan saudara-saudara-Nya terungkap dalam perkataan ini: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mrk 3:33-35).
Kisah Injil ini mengatakan kepada kita bahwa segalanya adalah cinta. Bunda Maria dan para saudara Yesus mencari-Nya karena cinta. Namun cinta di sini masih pada level manusiawi: hubungan darah, kekerabatan. Tuhan Yesus membuka pikiran mereka semua dengan mengatakan bahwa bersama Yesus cinta kasih itu lintas batas. Persaudaraan dengan Yesus tidak lagi dalam konteks hubungan darah atau kekerabatan, tetapi bahwa “Barang siapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Relasi kasih dengan Tuhan Yesus semakin luas, bukan lagi sebatas hubungan darah tetapi dengan melakukan kehendak Allah secara penuh maka layaklah pribadi itu menjadi ibu, saudara dan saudari Yesus. Wawasan kita menjadi luas karena relasi kita dengan Kristus bukan dengan hubungan darah, tetapi karena kita semua melakukan kehendak Allah di dalam hidup ini. Maka prinsip kita yang penting adalah melakukan kehendak Allah. Penulis surat kepada umat ibrani mengatakan: “Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.” (Ibr 10:7).
Saya mentup homili ini dengan mengutip lagi sebuah perkataan santo Fransiskus dari Sales ini: “Janganlah anda merasa marah dengan ketidaksempurnaanmu. Ini adalah kesalahan besar karena tidak akan membawa Anda ke mana-mana – marah karena Anda marah, kesal karena anda kesal, tertekan karena anda tertekan, kecewa karena anda kecewa. Jadi jangan membodohi diri sendiri. Berserahlah pada Kekuatan Cinta Kasih Tuhan, yang selalu lebih besar dari kelemahan kita.” Saya tetap optimis dan percaya bahwa kasih adalah segalanya. Hanya dengan kasih maka kita dapat mentaati dan melakukan kehendak Allah. Santo Fransiskus dari Sales, doakanlah kami. Amen.
P. John Laba, SDB