Homili 8 Februari 2023

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-V
Kej. 2:4b-9,15-17
Mzm. 104:1-2a,27-28,29bc-30
Mrk. 7:14-23

Betapa mulianya manusia

Pada pagi hari ini saya mendaraskan kembali secara pribadi sebuah doa di dalam Kitab Mazmur berikut ini: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mzm 8:4-6). Bagi saya Mazmur ini menjadi begitu bermakna karena mengungkapkan tentang keagungan manusia dalam kerapuhannya di hadirat Tuhan sang Pencipta. Kita membaca di dalam Kitab Kejadian hari ini: “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej 2:7). Dan Tuhan akan mengingatkan manusia ketika dia jatuh ke dalam dosa: “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej 3:19). Padahal sebelumnya kita sudah membaca di dalam Kitab Kejadian yang sama: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej 1:27).

Manusia diciptakan sesuai dengan gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Ini sebuah sukacita karena manusia begitu mulia di mata Tuhan. Dari Mazmur 8, kita semua begitu bernilai karena Tuhan Allah sendiri membuat kita sebagai manusia hampir sama seperti Allah sendiri, dan telah memahkotai kita dengan kemuliaan dan hormat. Kemuliaan Tuhan tercermin di dalam hidup manusia secara pribadi dan sebagai makhluk sosial. Betapa mulia dan agungnya manusia yang serupa dengan Allah sang Pencipta. Titik kelemahan manusia adalah bahwa memang manusia sendiri berasal dari debu tanah. Meskipun ‘hanya debu’ namun Tuhanlah yang menghembuskan ‘ruah’ ke dalam hidungnya sehingga manusia menjadi makhluk hidup yang layak di hadirat-Nya. Dari sini kita dapat mengerti bahwa di satu pihak manusia itu begitu sempurna karena diciptakan dan dimahkotai oleh kemuliaan Tuhan, di lain pihak kerapuhannya sebagai debu tanah juga menguasai hidupnya sampai ia akan jatuh ke dalam dosa. Bagi saya, kita semua selalu memiliki kerapuhan karena sebagai debu yang akan kembali menjadi debu, dan keilahian karena kemuliaan nafas hidup yang Tuhan berikan kepada kita dengan cuma-cuma.

Kita semua mengingat lirik lagu yang sangat mengesankan kita semua dari Puji Syukur no. 481: “Hanya debulah aku, ai alas kakiMu Tuhan. Hauskan titik embun, Sabda penuh ampun. Tak layak aku tengadah, menatap wajahMu. Namun tetap kupercaya, maha rahim engkau. Ampun seribu ampun, hapuskan dosa dosaku. Segunung sesal ini, ku hunjuk pada-Mu …” Kita memang makhluk yang begitu mulia, namun kita juga hanya debu di alas kaki Tuhan yang perlu merendahkan diri, sadar diri bahwa kita orang berdosa dan patut merasakan kemuliaan Tuhan melalui pertobatan.

Tuhan Allah memang luar biasa. Dia tidak hanya menciptkan manusia dan memberi kemuliaan kepada manusia ciptaan-Nya. Dia juga menempatkan manusia di taman Eden. Kita membaca: “Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu.” (Kej 2:8). Tuhan juga tidak hanya sekedar menempatkan manusia dan melepas tangan. Kita membaca: “Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej 2:9). Jadi di sini, Tuhan memberi segalanya. Ini bukti cinta Tuhan sampai tuntas.

Sebagai bukti cinta Tuhan kepada manusia, Tuhan menyerahkan seluruh Taman Eden kepada manusia untuk mengusahakannya demi kebaikan dan kesejahteraan hidupnya. Tentu sebagai administrator taman Eden, ada aturan mainnya yakni: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej 2:16-17). Taman Eden itu serupa dengan pusat hati Tuhan, karena dari sinilah mengalir kasih Tuhan yang luar biasa kepada manusia pertama. Dari sini juga manusia akan jatuh ke dalam dosa pertama karena menyalahgunakan kehendak bebasnya.

Di dalam bacaan Injil kita mendapat gambaran tentang dosa manusia yang ada di dalam hati manusia. Tampak luar manusiawi bukan ukuran untuk menilai siapakan manusia yang hidup berdampingan dengan sesamanya. Tuhan Yesus justru mengetahui titik kelemahan manusia yaitu hati yang menjadi pusat totalitas hidup manusia. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8) Hati yang tembus pandang menggambarkan betapa Allah hadir sama seperti Dia hadir di Taman Eden. Namun kerapuhan manusia juga ada di hatinya. Tuhan Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” (Mrk 7:20-22). Semua dosa yang menajiskan ini juga yang membuat manusia keluar dari Taman Eden dan menjadi debu yang rapuh.

Bacaan Liturgi pada hari ini sangat membuat kita berbangga sebagai ciptaan yang mulia di mata Tuhan, sekaligus membuat kita berefleksi untuk bertransformasi di hadirat Tuhan. Kita harus menjadi manusia yang sempurna sesuai dengan rencana Tuhan: “Sebab di dalam Yesus Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Ef 1:4). Ini rencana Tuhan yang mulia bagi anda dan saya. Mari kita hidup sebagai anak-anak Tuhan yang kudus dan tak bercacat di hadirat-Nya. Amen.

P. John Laba, SDB