Hari Jumat, Pekan Biasa ke-V
Peringatan Wajib St. Skolastika
Kej. 3:1-8
Mzm. 32:1-2,5,6,7
Mrk. 7:31-37
Ia menjadikan segalanya baik!
Pada hari ini kita mengenang santa Skolastika. Beliau adalah saudara kembar dari Santo Benediktus pendiri Ordo Benediktin. Mereka berdua dilahirkan di Nursia, Italia pada tahun 480. Skolastika dikenal sebagai seorang gadis yang cerdas dan peramah. Ia juga seorang yang religius; sejak muda ia sudah menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Kisah hidup Skolastika ini tidak bisa lepas dari kisah hidup saudaranya Benediktus. Dikisahkan bahwa Benediktus mengasingkan diri di sebuah gua di Subiako, dan kemudian mendirikan Biara Benediktin di Monte Kasino. Skolastika juga menyusul saudaranya dan tinggal di Plombariola yang berjarak kurang lebih 5 mil dari biara Benediktus. Benediktus lalu membantu Skolastika untuk mendirikan dan memimpin biara wanita. Kedua saudara kembar ini bersahabat menuju dan mencapai kekudusan. Tuhan menjadikan segalanya baik, dan dialami di dalam keluarga-keluarga juga untuk menjadi kudus.
Bacaan-bacaan liturgi pada hari ini mengingatkan kita pada sosok Tuhan yang menjadikan segala sesuatu sungguh amat baik adanya. Hanya saja manusia menyalahgunakan kasih dan kebaikan Tuhan maka mereka jatuh ke dalam dosa. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa karena mereka tidak mematuhi kehendak Tuhan. Kita membaca aturan yang diberikan Tuhan kepada mereka sangatlah jelas: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej 2:16-17). Perintah Tuhan ini sangat jelas namun ketika mereka berdua digoda oleh iblis dalam rupa ular, mereka berdua langsung menyerah. Ular yang licik menggoda Hawa sang ibu dari segala yang hidup seperti ini: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej. 3:1.4-5). Manusia pertama yakni Adam dan Hawa boleh beralasan dengan mengingat kembali larangan Tuhan supaya mereka jangan memakan buah dari pohon pengetahuan namun mereka berdua tetap tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Ia mengambil buah dari pohon itu, memakannya dan memberikannya juga kepada Adam suaminya. Dosa mulai ada, bertumbuh di dalam keluarga manusia pertama dan menjalar sampai saat ini secara turun temurun. Inilah yang disebut dosa asal.
Manusia pertama jatuh ke dalam dosa. Mereka makan dari buah pohon yang dilarang oleh Tuhan supaya mereka jangan memakannya. Dosa yang mereka berdua lakukan menjadi dosa sosial karena Hawa yang mengambil buah, memakannya dan memberikannya kepada Adam suaminya untuk memakannya. Adam pun menerima buah itu dan memakannya. Setelah menyadari bahwa mereka telah berdosa karena memakan buah terlarang itu, mereka baru sadar diri dan berusaha untuk menyembunyikan diri mereka dari Tuhan Yang Mahabaik. Pikirkanlah pengalaman kita ketika kita jatuh ke dalam sebuah dosa tertentu atau ke dalam sebuah kebiasan dosa yang sama. Kita bergumul namun akhirnya jatuh juga ke dalam dosa, bahkan dosa yang sama dan berkali-kali. Setelah menyadarinya baru kita malu dan berusaha untuk menyembunyikan wajah kita dari Tuhan.
Dalam bacaan Injil, kita mendengar terjadinya sebuah mukijzat yang dilakukan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dalam perjalanan kembali dari Tirus dan Sidon melewati daerah yang disebut Dekapolis. Dekapolis berarti “Sepuluh Kota” merupakan sebuah wilayah di sebelah timur dan tenggara Danau Galilea, di sebelah utara Perea, dan merupakan bagian dari suku Manasye. Dinamakan Dekapolis karena ada sepuluh kota yang terletak di dalam wilayah itu. Nama-nama kota itu tidaklah pasti. Gaius Plinius Secundus, seorang penulis Romawi menyebutkannya sebagai berikut: Scythopolis, Filadelfia, Raphanae, Gadara, Kuda Nil, Dios, Pella, Gerasa, Kanna, dan Damsyik. Sejarahwan Flavius Josephus mengganti Canatha dengan Otopos dalam daftarnya. Dari kesepuluh kota tersebut, hanya satu, yaitu ibu kota Skitopolis, yang terletak di sebelah barat Sungai Yordan. Yesus mengunjungi wilayah Dekapolis selama pelayanan-Nya. Matius menyebutnya “daerah orang Gadarenes,” karena Yesus berada di dekat Gadara (Mat. 8:28). Sepuluh kota yang membentuk Dekapolis mungkin memasuki persekutuan mereka satu sama lain, terutama pada waktu Pompey selaku jenderal Romawi mengalahkan Suriah pada tahun 65 SM. Penduduk Dekapolis bertanggung jawab langsung kepada gubernur Romawi di Suriah. Aliansi kota-kota tersebut menikmati kemerdekaan sampai-sampai mereka dapat mencetak koin mata uang mereka sendiri.
Di daerah ini, Tuhan Yesus membuat sebuah mukjizat yakni menyembuhkan seorang yang tuli dan gagap. Cara penyembuhan yang Tuhan Yesus lakukan juga unik. Inilah proses penyembuhannya: “Yesus memisahkan orang sakit yang di antar teman-temannya dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.” (Mrk 7:33-35). Penyembuhan yang unik ini menjadi viral dan semua orang mengakui kehadiran Allah di dalam Yesus Putera-Nya: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” (Mrk 7:37).
Tuhan menjadikan segalanya baik! Tuhan menciptakan mulut dan telinga untuk kebaikan. Telinga berjumlah dua supaya manusia lebih banyak mendengar. Semakin banyak mendengar, manusia bisa menjadi taat dan mampu mengasihi. Mulut manusia hanya satu tetapi kadang menjadi sumber masalah. Manusia pertama jatuh ke dalam dosa karena salah menggunakan mulutnya. Mereka memakan buah terlarang dengan mulut dan menipu Tuhan dengan mulut yang sama. Kita membutuhkan Tuhan untuk menyembuhkan telinga dan mulut kita. Biarlah telinga kita mendengar Sabda-Nya dan mulut kita memuji-Nya. Mengapa? Karena Tuhan menjadikan segalanya baik.
P. John Laba, SDB