Homili 11 Februari 2023 – Hari orang sakit sedunia ke-31

Santa Perawan Maria di Lourdes
Hari Orang Sakit Sedunia
Kej. 3:9-24
Mzm. 90:2,3-4, 5-6,12-13
Mrk. 8:1-10

We are all fragile and vulnerable!

Pada hari ini kita semua merayakan Hari Orang Sakit Sedunia (World Day of the Sick ) ke-31. Hari istimewa ini ditetapkan oleh Sri Paus Yohanes Paulus II pada 13 Mei 1992 dan mulai dirayakan pada 11 Februari 1993. Beliau menetapkan Hari Orang Sakit Sedunia persis setahun setelah beliau sendiri didiagnosa menderita penyakit Parkinson. Pengalaman pribadinya ikut menumbukan perasaan empati kepada sesama lain yang sedang menderita juga. Bagi saya, ini benar-benar merupakan sebuah keteladanan yang sangat berharga bagi kita semua. Tepat sekali perkataan Paus Fransiskus dalam pesannya untuk memperingati Hari orang sakit sedunia yang ke-31, pada tahun ini: “Orang-orang yang sakit, pada kenyataannya, berada di tengah-tengah umat Allah, dan Gereja maju bersama mereka sebagai tanda kemanusiaan di mana setiap orang berharga dan tidak ada yang harus dibuang atau ditinggalkan.”

Paus Fransiskus dalam pesannya pada hari orang sakit sedunia juga mengatakan bahwa Penyakit dan kerentanan merupakan bagian dari perjalanan manusia, dan mengancam ‘budaya efisiensi’. Beliau menegaskan bahwa kita semua adalah pribadi yang rapuh dan rentan. Sebab itu kita membutuhkan belas kasih yang mengerti bagaimana berhenti sejenak, datang mendekat, menyembuhkan dan bangkit kembali. Demikian, penderitaan orang sakit merupakan panggilan untuk menghentikan ketidakpedulian dan memperlambat langkah mereka yang berjalan sendirian seolah-olah tidak memiliki saudari dan saudara. Pada bagian terakhir dari pesannya, Paus Fransikus mengajak Gereja sebagai Umat Allah: “Marilah kita mengarahkan diri ke tempat suci Lourdes, pada sebuah warta kenabian, suatu pembelajaran yang dipercayakan kepada Gereja untuk zaman modern ini. Bukan hanya apa yang berfungsi baik atau mereka yang produktif yang diperhatikan. Melainkan, senyatanya orang sakitlah yang berada pada pusat persekutuan umat Allah, dan Gereja maju bersama dengan mereka sebagai tanda kemanusiaan di mana setiap orang berharga dan tak seorang pun dibuang atau ditinggalkan.”

Perkataan Paus Fransiskus bahwa kita semua adalah manusia yang rapuh dan rentan memang benar adanya. Tidak seorang pun luput dari sakit penyakit. Secara rohani, tidak seorang pun luput dari kelemahan manusiawinya sebagai orang berdosa dan masih memiliki sakit dan kelemahan-kelemahannya. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini turut menggambarkan situasi ‘sakit’ dalam diri kita sebagai akibat dari dosa. Mari kita memperhatikan bacaan pertama dari Kitab Kejadian. Manusia pertama menyalahgunakan kebebasan mereka di hadirat Tuhan sehingga mereka jatuh ke dalam dosa. Setelah jatuh ke dalam dosa baru muncul kesadaran dan penyesalan, meskipun sudah terlambat. Tuhan sang Pencipta tidak berhenti mencari manusia yang diciptakan sesuai dengan rupa-Nya sendiri, yang menyerahkan segala ciptaan ke dalam tangan-Nya namun mereka melawan kasih dan kebaikan Tuhan dengan kejatuhan dalam dosa.

Tuhan senantiasa mencari dan memanggil manusia pertama: “Di manakah engkau?” (Kej.3:9). Adam yang sadar bahwa ia telah jatuh ke dalam dosa menuturkan dengan jujur: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” (Kej 3:10). Tuhan tidak langsung bersikap negatif kepada Adam dan Hawa. Ia malah pura-pura bertanya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” (Kej 3:11). Di sinilah letak kehebatan Tuhan. Dia mengetahui manusia sudah jatuh ke dalam dosa namun Dia membiarkan manusia jujur dan membuka diri-Nya sebagai orang berdosa. Namun demikian, ketika membuka dirinya, masih ada juga nuansa ketidakjujuran dan saling mempersalahkan. Perhatikan kutipan ini: Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.” (Kej 3:12-13).

Reaksi Tuhan kepada manusia yang berdosa di Taman Eden adalah bahwa Ia mengutuk ular yang telah menggoda manusia pertama sehingga mereka jatuh ke dalam dosa. Ular akan menjadi musuh manusia. Kepada Adam dan Hawa, Tuhan tidak mengutuk tetapi memberi teguran yang keras karena mereka sudah jatuh ke dalam dosa. Manusia kehilangan kemuliaan maka, Adam akan hidup dari keringatnya sendiri dengan bersusah paya mengolah tanah. Hawa adalah ibu dari segala yang hidup akan mengalami kesusahan saat melahirkan. Tuhan juga mengusir manusia pertama dari Taman Eden dan membiarkan mereka berusaha untuk hidup.

Apakah Tuhan menghukum manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa?

Tuhan memang mengusir Adam dan Hawa untuk keluar dari Taman Eden. Namun demikian Tuhan Allah tetap menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya bagi manusia. Dia tetap menjaga dan melindungi mereka, memberikan mereka makanan dari tanah yang mereka olah. Tuhan juga menunjukkan kerahiman-Nya kepada mereka yang lapar dan dahaga. Tanda kasih dan kerahiman Tuhan bagi manusia menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus. Dialah yang memberikan kepuasan kepada mereka yang lapar dan dahaga. Inilah sikap Yesus yang ditujukan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya dari dekat: “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak ini. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Dan jika mereka Kusuruh pulang ke rumahnya dengan lapar, mereka akan rebah di jalan, sebab ada yang datang dari jauh.” (Mrk 8:2-3).

Para murid diedukasi oleh Tuhan Yesus untuk dapat berbagi kepada sesama yang sangat membutuhkan. Bahwa sedikit yang mereka miliki yakni roti yang jumlahnya terbatas karena hanya berjumlah 7 potong roti dan beberapa ekor ikan namun dapat memberi makan kepada 4.000 orang. Sisanya masih tujuh bakul penuh. Alasan mengapa masih ada sisa roti yang terkumpul sebanyak tujuh bakul penuh adalah karena mereka sangat berempati dan berbagi satu sama lain. Mengapa mereka berbagi karena sebagai manusia kita pasti memiliki semangat untuk berbagi. Jangan pernah takut untuk menjadi manusia yang selalu berbagi kepada sesama yang lain. Mengapa demikian? Karena kita adalah manusia yang rapuh, kita membutuhkan keselamatan dalam Tuhan!

P. John Laba, SDB