Homili 24 Februari 2023

Hari Jumat sesudah Rabu Abu
Yes. 58:1-9a
Mzm. 51:3-4,5-6a,18-19
Mat. 9:14-15

Emang Kamu Puasa?

Kita sedang berada di hari ketiga dalam masa prapaskah bertepatan dengan hari Jumat setelah Rabu Abu. Ada satu kata penting yang muncul dalam bacaan-bacaan liturgi kita hari ini yakni kata puasa. Tentu saja ketika kita mendengar kata puasa, pikiran kita tertuju pada hal menyangkut makanan dan minuman. Mengapa? Karena sejauh ini, pemahaman kita tentang puasa selalu berkaitan dengan tindakan sukarela dari kita untuk tidak makan atau tidak minum seluruhnya. Berpuasa berarti sama sekali tidak makan atau minum apapun atau hanya sebagian saja dalam arti kita mengurangi makan atau minum. Berpuasa dan pantang selalu berkaitan sebagai tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan keselamatan dunia.

Pemahaman makna puasa dan pantang ini membawa kita kepada sebuah pemahaman tentang bagaimana kita mampu menguasai diri terhadap kebutuhan fisik kita. Kebutuhan fisik yang dimaksudkan adalah dalam hal makan dan minum dan kebiasaan lainnya. Ketika kita berbicara tentang berpuasa menjadi tindakan sukarela untuk tidak makan atau tidak minum. Dalam praktiknya kita berpuasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Sedangkan berpantang lebih merujuk pada kebiasaan atau kesenangan tertentu. Misalnya, Pantang daging, rokok, garam, gula dan semua manisan seperti permen, dan atau semua hiburan seperti radio, televisi, bioskop, film, menggunakan gadget. Tentu saja kita tidak hanya berhenti pada puasa dan pantang soal makan dan minum saja. Santo Yohanes Kristomus mengatakan: “Saya tidak berbicara tentang puasa seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, tetapi tentang puasa yang sesungguhnya, bukan hanya berpantang dari daging, tetapi juga dari dosa”. Di tempat lain, santo Krisostomus mengatakan: “Nilai puasa tidak hanya terletak pada upaya untuk menghindari makanan tertentu, tetapi juga untuk meninggalkan praktik-praktik dosa. Orang yang membatasi puasanya hanya dengan tidak makan daging adalah orang yang secara khusus merendahkan nilainya.”

Saya mengingat santa Maria Faustina Kowalska. Di dalam buku catatan hariannya menulis: “Kita senantiasa memiliki kesulitan-kesulitan yang bersifat batiniah dan lahiriah. Kesulitan-kesulitan batiniah adalah rasa kecil hati, kegersangan, kemalasan roh dan godaan-godaan. Kesulitan-kesulitan lahiriah adalah penilaian insani dan waktu; orang harus menepati waktu yang ditetapkan untuk berdoa.” (BHSF, 147). Kita semua memiliki kesulitan-kesulitan ini dan kalau kita tidak mampu menguasai diri maka dengan sendirinya kita jatuh ke dalam dosa. Puasa yang benar adalah kita menguasai diri dari hal-hal batiniah dan terutama hal-hal lahiriah.

Apa kata Sabda Tuhan pada hari ini?

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama membuka wawasan kita untuk mengerti dengan baik makna puasa yang benar di dalam pikiran Tuhan. Inilah nubuat nabi Yesaya: “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7).

Di sini kita diarahkan pada rencana Tuhan bahwa puasa yang benar adalah melakukan perbuatan-perbuatan baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam hal ini kita bertindak sebagai manusia yang benar. Orang yang dianiaya, yang tidak bebas menjadi fokus perhatian kita. Di samping itu kita melakukan perbuatan-perbuatan kerahiman yang bersifat jasmani: “Memberi makanan kepada orang yang lapar, memberi minuman kepada orang yang haus, memberi tumpangan kepada pengembara, Memberi pakaian kepada orang yang telanjang, Melawat orang sakit, Melawat orang sakit, Mengunjungi orang yang dipenjara dan menguburkan orang mati. Tuhan memperhatikan pengurbanan manusia: Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan Tuhan barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah. (Yes 58:8-9).

Dalam bacaan Injil, kita mendengar keluhan para murid Yohanes Pembaptis bahwa mereka berpuasa tetapi para murid Yesus tidak berpuasa. Tuhan Yesus menjawab keluhan orang-orang saat itu: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15). Berpuasa yang benar adalah pertama, bersukacita di dalam Tuhan karena kita adalah sahabat Yesus, sang mempelai sejati. Kedua, perasaan kehilangan Yesus karena pengurbanan diri-Nya dalam paskah. Kebersamaan dengan Yesus selalu ada sukacita.

Emang kamu puasa?

Pertanyaan sederhana ini menjadi refleksi kita dalam masa prapaskah ini. Saya mengakhiri homili dengan mengutip perkataan santo Yohanes Krisostomus ini: “Selain berpuasa dengan mulut dengan tidak makan makanan tertentu, mulut Anda juga harus berpuasa dari kata-kata kotor atau berbohong tentang orang lain. Apa gunanya jika Anda tidak makan daging atau unggas, namun Anda menggigit dan melahap sesama Anda?”

P. John Laba, SDB