Hari Senin Pekan II Prapaskah
Dan. 9:4b-10
Mzm. 79:8,9,11,13
Luk. 6:36-38
Saatnya bermurah hati
Sudah hampir sepuluh tahun saya dipercayakan sebagai moderator Komunitas Pelayan Belas kasih Allah St. Leopold. Komunitas kategorial ini tersebar di beberapa paroki di KAJ. Mereka adalah orang-orang awam sederhana yang memiliki andil besar untuk melayani Tuhan di paroki di mana mereka berada. Setiap minggu mereka memiliki pertemuan doa rutin secara luring dan daring. Hal yang mengesankan saya sebagai moderator adalah sebuah karya nyata selama masa pandemi yang lalu. Mereka membuat sebuah gerakan 5R2I (lima roti, dua ikan). Gerakan ini bertujuan untuk memberi makan siang kepada para pemulung dan pengemis di daerah-daerah kumuh tertentu di Jakarta. Mereka menggandeng kelompok kategorial lain dan sangat membantu banyak orang. Dalam hal ini pemilik warung dan juga para pemulung yang mendapatkan pelayanan langsung. Dari mana dana untuk menopang gerakan 5R2I ini? Para anggota bahu membahu memberi dari kekurangan mereka dan dibantu oleh para penderma tertentu. Bagi mereka gerakan 5R2I adalah sebuah doa dalam karya nyata, lagi pula mereka sendiri mengakui betapa Tuhan sangat bermurah hati bagi mereka secara pribadi dan juga bagi keluarga mereka. Mereka bermurah hati karena Tuhan lebih dahulu bermurah hati kepada mereka. Prinsip mereka adalah ‘sharing is caring’ (berbagi adalah tanda kepedulian). Sungguh merupakan sebuah kesaksian yang sangat mengagumkan.
Masa Prapaskah adalah sebuah kesempatan emas bagi kita untuk belajar bermurah hati sama seperti Tuhan sendiri bermurah hati kepada kita. Tuhan juga mendorong kita untuk saling bermurah hati. Tuhan Yesus berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Santo Agustinus pernah berkata: “Seperti apakah kasih itu? Kasih itu memiliki tangan untuk menolong orang lain. Kasih itu memiliki kaki untuk bergegas menolong yang miskin dan membutuhkan. Kasih itu memiliki mata untuk melihat kesengsaraan dan kekurangan. Kasih itu memiliki telinga untuk mendengar keluh kesah dan penderitaan sesama manusia. Seperti itulah kasih.” Bagi saya, perkataan orang kudus besar ini super sekali. Kasih itu menjangkau pribadi-pribadi dan lintas batas, tanpa memandang siapakan orang yang hendak dikasihi. Orang yang murah hati pasti menunjukkan kasih kepada sesamanya tanpa memilah-milah.
Perkataan santo Agustinus ini menguatkan kita untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi di dalam hidup kita. Semangat kemurahan hati nampak dalam aksi puasa kita. Berpuasa bukan sebatas makan dan minum saja. Berpuasa yang benar adalah melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang nyata di dalam hidup kita. Misalnya gerakan 5R2I dari komunitas pelayan belas kasih Allah santo Leopold yang saya ceritakan di atas. Kemurahan hati itu sebuah kebajikan di mana kita tidak perlu takut menjadi miskin. Tuhan Yesus berkata: “Lihatlah burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di dalam lumbung. Meskipun begitu Bapamu yang di surga memelihara mereka! Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung?” (Mat 6:26). Kita juga murah hati dalam berdoa. Banyak kali kita berdoa untuk diri kita dan melupakan doa bagi sesama, atau menunggu kalau orang meminta doa dari kita atau terpaksa berdoa. Kita juga semakin beramal kepada sesama yang lain. Tuhan Yesus berkata: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:3-4).
Semangat murah hati ditandai oleh kemampuan untuk menerima semua orang apa adanya. Ini berarti kita harus menghargai nilai-nilai hidup manusia. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.” (Luk 6: 37). Banyak kali kita bukanlah orang yang murah hati karena senang dan terbiasa menghakimi orang lain, senang menghukum orang lain. Padahal ketika menunjuk seseorang dan menilainya, posisi jari kita adalah ibu jari dan jari telunjuk menunjuk sesama tetapi jari tengah, jari kelingking dan jari manis menunjuk kepada kita. Betapa kita tidak sempurna di hadirat Tuhan dan sesama kita.
Saya mengakhiri homili dengan meminjam perkataan St. Khatarina dari Siena ini: “Cinta kasih adalah ikatan yang manis dan suci yang menghubungkan jiwa dengan Penciptanya: cinta kasih mengikat Tuhan dengan manusia dan manusia dengan Tuhan.” Allah adalah kasih dan kita terikat pada-Nya. Dengan demikian pengalaman kasih Allah akan menguatkan kita untuk membangun relasi yang baik dengan sesama manusia.
Doa: “Ya Tuhan, kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Engkau. Pada Tuhan, Allah kami, ada kesayangan dan keampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap Dia, dan tidak mendengarkan suara Tuhan, Allah kami, yang menyuruh kami hidup menurut hukum yang telah diberikan-Nya kepada kami dengan perantaraan para nabi, hamba-hamba-Nya.” (Dan 9:8-10). Mari kita belajar bermurah hati seperti Tuhan sendiri bermurah hati kepada kita semua.
P. John Laba, SDB