Hari Jumat, Pekan V Prapaskah
Yer. 20:10-13
Mzm. 18:2-3a,3b-4,5-6,7
Yoh. 10:31-42.
Marah kepada Yesus
Adalah Thomas A. Kempis. Mistikus Katolik Abad pertengahan ini pernah berkata: “Janganlah marah karena Anda tidak dapat membuat orang lain seperti yang Anda inginkan, Anda juga tidak dapat membuat diri Anda sendiri seperti yang Anda inginkan.” Perkataan ini mengingatkan kita bahwa rasa marah itu memang melekat di dalam diri kita. Tidak ada seorang pun yang luput dari rasa marah kepada Tuhan dan sesamanya. Kalau kita juga boleh jujur untuk menghitung-hitung jumlah kemarahan di dalam diri kita setiap hari maka sudah pasti lebih dari satu kali kita marah dalam sehari.
Pada hari ini Penginjil Yohanes menceritakan reaksi negatif dari orang-orang Yahudi yang mengancam Yesus dengan mengambil batu untuk melempari-Nya. Mengapa mereka bereaksi begitu brutal kepada Yesus? Karena mereka beranggapan bahwa Yesus telah menghujat Allah dan karena Yesus hanyalah manusia namun Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah. Alasan ini juga membuat mereka lupa bahwa Yesus pernah berbuat baik kepada mereka melalui segala pekerjaan baik-Nya. Mereka juga nyaris menangkap Yesus namun Ia masih luput dari tangan mereka. Kemarahan kepada Yesus juga pernah dialami oleh nabi Yeremia. Orang-orang dekatnya mengintai dia bahkan ada juga yang berteriak untuk mengadukan dia. Untungnya adalah Tuhan masih menyertai dan melindunginya. Lihatlah bahwa musuh-musuh Yesus dan nabi Yeremia adalah orang-orang dekat yang pernah mengalami kasih dan kebaikan mereka.
Orang-orang Yahudi marah kepada Yesus. Mereka marah dan berencana untuk menangkap-Nya namun belum sempat karena saatnya belum tiba. Namun pada saatnya nanti, Yesus juga ditangkap dan dianiaya hingga mati di atas kayu salib. Betapa marahnya orang-orang kepada Yesus dan berteriak: “Salibkanlah Dia!” Teriakan yang sama, secara sadar atau tidak sadar juga selalu kita ucapkan kepada Tuhan dan sesama kita saat ini. Memang, yang namanya marah, benci, dendam, menganiaya aneka kekerasan verbal juga melekat di dalam diri kita. Apakah kita juga bersikap demikian dengan marah kepada Yesus di saat-saat bergumul dalam hidup?
Menutup renungan di akhir bulan Maret ini saya mengutip St. Fransiskus dari Sales: “Koreksi yang diberikan dalam kemarahan, betapapun marahnya akal budi, tidak pernah memiliki efek sebesar koreksi yang diberikan tanpa kemarahan, karena jiwa yang berakal sehat secara alami tunduk pada akal budi, maka hanya tirani yang menundukkannya pada hawa nafsu, dan kapan pun akal budi dituntun oleh hawa nafsu, maka akal budi itu akan menjadi najis, dan aturannya yang adil akan menjengkelkan.”
P. John Laba, SDB