HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS
Ul. 8:2-3,14b-16a
Mzm. 147:12-13,14-15,19-20
1Kor. 10:16-17
Yoh. 6:51-58
Menjadi bagian dari satu Tubuh
Mengawali Homili pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus ini, saya mengingat pengajaran Santo Yohanes Paulus II tentang Teologi Tubuh (Theology of the Body). Ketika membahas tentang martabat manusia, dalam hal ini pribadi manusia sebagai pribadi yang bertubuh, beliau menekankan bahwa tubuh adalah bagian integral dari martabat manusia karena tubuh adalah bagian integral dari pribadi; tubuh mengungkapkan pribadi manusia. Bagi Yohanes Paulus II, pribadi manusia adalah sebuah tubuh, dan tidak hanya memiliki tubuh, “Manusia, yang dibentuk dengan cara demikian, adalah milik dunia yang kelihatan; ia adalah tubuh di antara tubuh-tubuh. “(ToB, 152). Kita adalah manusia yang bertubuh, roh-roh yang diwujudkan, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang adalah Kasih. Tubuh kita berbicara dengan Bahasa yakni “bahasa tubuh”, yang harus diucapkan dalam kebenaran dan dengan kasih. Di dalam dan melalui tubuh, manusia menjadi sebuah sakramen, yaitu sebuah tanda yang terlihat dari ekonomi kebenaran dan kasih. Tema fundamental ini mencerminkan martabat kita sebagai pribadi manusia dan mengungkapkan rencana Allah bagi pribadi manusia.
Perkataan Paus yang kemudian dikenal sebagai Santo Yohanes Paulus II ini membuat kita semakin mencintai dan menghargai nilai tubuh kita sebab pribadi manusia adalah pribadi yang bertubuh, dengan kata lain tubuh merupakan bagian integral dari pribadi kita. Di setiap kultur, penghargaan tinggi kepada nilai tubuh itu tetap ada. Itu sebabnya, orang memang terbuka kepada keindahan tubuh, namun memiliki batas-batas tertentu karena tubuh itu bernilai adanya. Itulah martabat yang dijunjung tinggi oleh setiap pribadi.
Dalam sebuah homilinya pada tanggal 18 April 2018, Paus Fransiskus mengatakan: “Setiap pelanggaran atau luka atau kekerasan terhadap tubuh sesama kita merupakan kemarahan terhadap Allah sang pencipta”. Perkataan Paus Fransiskus ini menunjuk pada anak-anak, wanita dan orang tua yang dianiaya dalam tubuh. Bagi Paus Fransikus, “Di dalam tubuh orang-orang ini kita menemukan tubuh Kristus. Tuhan Yesus sendiri diejek, difitnah, dihina, dicambuk, disalibkan. Dalam situasi seperti ini, Yesus mengajarkan kepada kita kasih. Sebuah kasih yang, dalam kebangkitan-Nya, telah menunjukkan diri-Nya lebih kuat daripada dosa dan maut, dan ingin menebus semua orang yang mengalami perbudakan di dalam tubuh mereka sendiri pada zaman kita.”
Pada hari ini kita merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Pikiran kita tertuju pada Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus. Dia mengurbankan-Nya di atas kayu Salib untuk keselamatan kita. Dia yang hadir secara nyata dalam Ekaristi dan kita menyambut-Nya dengan penuh sukacita. Santo Thomas Aquinas pernah menulis sebuah himne yang indah tentang Ekaristi: “Adoro te devote, latens Deitas, Quæ sub his figuris vere latitas; Tibi se cor meum totum subjicit, Quia te contemplans totum deficit. Visus, tactus, gustus in te fallitur, Sed auditu solo tuto creditur. Credo quidquid dixit Dei Filius; Nil hoc verbo veritátis verius. In cruce latebat sola Deitas, At hic latet simul et Humanitas, Ambo tamen credens atque confitens, Peto quod petivit latro pœnitens.” (Allah yang tersamar, Dikau kusembah, sungguh tersembunyi, roti wujudnya. S’luruh hati hamba tunduk berserah ‘Ku memandang Dikau, hampa lainnya. Pandang, raba, rasa, tidaklah benar, ‘ku percaya hanya yang t’lah kudengar. S’luruh sabda dari Putera Allah sungguh tak bertara kebenarannya. Di salib tersamar keallahan-Mu, di sini tersamar keinsanan-Mu. Aku mengimani dua-duanya. Yang penyamun minta, ‘ku memintanya).
Bacaan-bacaan liturgi hari ini membantu kita untuk semakin mengenal dan mengimani Tuhan yang sangat mengasihi kita. Dalam bacaan pertama kita mengenal sosok Allah yang mengasihi manusia tanpa batas. Bangsa Israel mengalaminya sendiri ketika mereka berada di padang gurun. Mereka mengalami lapar dan dahaga. Tuhan hadir dengan memberikan roti yang turun dari surga berupa mana. Musa sebagai pemimpin bangsa Israel mengatakan kepada mereka: “Dia yang membuat air keluar bagimu dari gunung batu yang keras, dan yang di padang gurun memberi engkau makan manna, yang tidak dikenal oleh nenek moyangmu, supaya direndahkan-Nya hatimu dan dicobai-Nya engkau, hanya untuk berbuat baik kepadamu akhirnya.” (Ul 8:15-16). Tuhan memberi segala yang dibutuhkan bangsa Israel maka mereka diharapkan untuk tetap rendah hati, patuh dan setia mengiman Allah.
Pengalaman umat Israel di padang gurun yang kita dengan di dalam bacaan pertama ini kemudian disempurnakan oleh Tuhan Yesus dengan hidup dan karya-Nya di tengah-tengah kita. Dalam bacaan Injil kita mendengar pengajaran Yesus di dalam rumah ibadat di Kapernaum. Ia menunjukkan diri-Nya sebagai roti hidup yang menghidupkan mereka. Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6:51). Disinilah letak perbedaan antara roti yang sudah dimakan nenek moyang bangsa Israel di padang gurun berupa mana dan mereka semua sudah mati. Roti yang diberikan Yesus bukan ‘mana saja’ tetapi Yesus memberikan Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan dan minuman untuk hidup dunia.
Tuhan Yesus semakin membuka pikiran kita untuk bersyukur atas Ekaristi dan menjadi manusia Ekaristis. Ia berkata: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:54-56). Ekaristi yang kita rayakan memiliki daya hidup dan mengubah hidup. Ekaristi memiliki daya hidup karena mendatangkan hidup kekal yang dijanjikan Yesus sendiri. Ekaristi mengubah hidup kita yang lama menjadi hidup baru di dalam Kristus. Segenap hidup kita hanya bagi Tuhan karena Dia sudah memberi segalanya bagi kita.
Apa yang harus kita lakukan?
Santo Paulus memberikan kepada kita jalan untuk menjadi manusia Ekaristis. Kita semua merupakan pribadi yang berbeda-beda namun Ekaristi mempersatukan kita. Dengan tegas santo Paulus mengatakan: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:16-17). Ekaristi membuat kita menjadi satu dalam Tubuh Kristus. Mari kita menjadi manusia Ekaristis yang selalu bersyukur dan menjadi satu Tubuh dalam Tubuh Mistik Kristus.
P. John Laba, SDB