Homili 19 Juni 2023

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XI/A
2Kor 6:1-10
Mzm 98:1.2.3ab.3cd-4
Mat 5:38-42

Pelayan Allah

Adalah Wayne Muller. Beliau adalah seorang therapist dan pendiri ‘Bread for the Journey’. Beliau pernah berkata: “Ketika kita melayani orang lain, kita juga sedang melakukannya bagi diri kita sendiri; setiap tindakan, setiap perkataan, setiap gerakan belas kasih yang tulus secara alamiah menyehatkan hati kita sendiri. Hal ini bukan masalah tentang siapa yang disembuhkan terlebih dahulu. Ketika kita merawat diri kita sendiri dengan penuh belas kasih, akan lebih banyak kesembuhan yang tersedia bagi orang lain. Dan ketika kita melayani orang lain dengan hati yang terbuka dan murah hati, kesembuhan yang luar biasa akan datang kepada kita.” Bagi saya, perkataan ini sekaligus mempertegas eksistensi kita sebagai pelayan-pelayan yang menyembuhkan. Pelayanan adalah perbuatan baik yang dapat mengubah hidup kita dan hidup sesama.

Pada hari ini kita mendapat kekuatan dari Tuhan melalui santo Paulus. Dalam wejangannya kepada jemaat di Korintus, ia mengingatkan mereka pertama-tama sebagai teman-teman sekerja. Ia tidak merasa diri lebih tinggi status sosialnya. Dia menyadari panggilannya sebagai pelayan dan teman-teman sekerja. Dengan kesadaran ini maka ia menasihati jemaat di Korintus supaya tidak menyia-nyiakan kasih karunia yang diperoleh dari Allah. Kasih karunia itu gratis! Tuhan sendiri begitu murah hati ketika melalui nabi Yesaya berkata: “Pada waktu Aku berkenan, Aku akan mendengarkan dikau, dan pada hari aku menyelamatkan, Aku akan menolong engkau.” (2Kor 6:2; Yes 49:8). Pelayanan yang diberikan Paulus kepada jemaat di Korintus adalah pelayanan yang tulus, tanpa embel-embel. Dia tidak menjadi seorang pelayan yang memberikan batu sandungan atau skandal kepada mereka yang dilayaninya. Ia dan rekan-rekannya bahkan dengan tegas mengakui dirinya sebagai pelayan Allah.

Jati diri seorang pelayan Allah adalah bahwa sang pelayan itu memiliki kesabaran terhadap segala penderitaan, kesesakan dan kesukaran, menanggung dera, di dalam penjara dan kerusuhan, dalam berpaya-paya, dalam berjaga-jaga dan berpuasa, dalam kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran dan kemurahan hati, dalam Roh Kudus dan kasih yang tidak munafik, dalam mewartakan kebenaran dan kekuasaan Allah, bersenjatakan keadilan. Singkatnya, seorang pelayan Allah itu memiliki karakter Kristus di dalam hidupnya. Pelayan Allah menghadirkan wajah Allah dalam hidupnya di tengah-tengah dunia. Orang sungguh merasakan dan memuliakan Tuhan karena pekerjaan dan pelayanan kita. Percuma saja orang berdalil atas nama pelayanan tetapi mereka sendiri bukanlah pelayan sejati seperti Kristus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani.

Mari kita berefleksi tentang pelayanan-pelayanan kita. Betapa kita mudah menjadi pelayan yang sombong karena memamerkan diri kita sebagai pelayan. Sikap seperti ini tentu menomorsatukan diri kita dan menomorduakan Tuhan. Saya teringat pada perkataan St. Khatarina Drexel ini: “Jika kita ingin melayani Allah dan mengasihi sesama dengan baik, kita harus menunjukkan sukacita dalam pelayanan yang kita berikan kepada-Nya dan kepada mereka. Mari kita membuka hati kita lebar-lebar hati kita. Sukacita yang mengundang kita. Maju terus dan jangan pernah takut untuk melayani.” Perkataan ini sungguh meneguhkan kita. Pelayan Allah itu melayani Tuhan dengan hati penuh sukacita. Nah mari kita menanyakan diri kita sendiri, apakah kita sungguh menjadi pelayan Allah yang tulus? Melayani Allah berarti kita juga melayani sesama kita.Pada wajah mereka kita menemukan wajah Allah yang kelihatan.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk menunjukkan sikap kita sebagai pelayan lintas batas. Yang Tuhan Yesus maksudkan adalah bahwa ketika kita melayani bukan hanya ditujukan kepada orang yang berbuat baik kepada kita saja, tetapi kita juga melayani orang yang berbuat jahat kepada kita. Prinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi tidak memiliki tempat dalam hidup kita. Balas dendam bukanlah karakter seorang pelayan Allah. Perbuatan baik, tidak membalas dendam adalah karakter pelayan sejati masa kini. Untuk lebih jelas perhatikan kutipan ini: “Kamu telah mendengar firman: “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” (Mat 5:38-42).

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan santa Margaretha Maria Alacoque: “Hati ilahi adalah samudera yang penuh dengan segala hal yang baik, di mana jiwa-jiwa yang miskin dapat mencurahkan segala kebutuhan mereka; samudera yang penuh dengan sukacita untuk menenggelamkan kebodohan kita, samudera belas kasihan kepada mereka yang berkesusahan, samudera cinta yang menenggelamkan kemiskina kita.” Dengan hati ilahi Tuhan Yesus Kristus, kita tetap terpanggil menjadi pelayan Allah seperti Yesus sang pelayan sejati.

P. John Laba, SDB