Hari Minggu Biasa XIIA
Yer. 20:10-13
Mzm. 69:8-10,14,17,33-35
Rm. 5:12-15
Mat. 10:26-33
Betapa berharganya diri manusia!
Mengawali homili saya pada hari Minggu ini, saya mengingat perkataan dari Santo Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya berjudul Evangelium Vitae (25 Maret 1995), bunyinya: “Penghormatan terhadap kehidupan mengharuskan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk selalu melayani manusia dan perkembangannya secara integral. Masyarakat secara keseluruhan harus menghormati, membela, dan memajukan martabat setiap pribadi manusia, pada setiap saat dan dalam setiap kondisi kehidupan orang tersebut.” Kita hidup di zaman yang boleh dikatakan tergila-gila dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak Kita berbondong-bondong ke took gadget dan mengantre panjang untuk membeli teknologi terbaru. Namun, ada pertanyaan-pertanyaan untuk kita renungkan hari ini: “Apakah ponsel baru atau gadget baru kita benar-benar telah menciptakan hubungan akrab, penuh persaudaraan antar kita sebagai manusia menjadi lebih baik?” “Apakah kecerdasan manusia telah diarahkan untuk melayani kehidupan atau apakah kita hanya menemukan cara-cara baru untuk melayani diri kita sendiri?” “Apakah ilmu pengetahuan telah menjadi objek pemujaan kita dan mengabaikan nilai-nilai hidup manusia di sekitar kita?” Bagi saya ini adalah pertanyaan yang masih kontekstual dengan hidup kita sampai saat ini.
Kita medengar bacaan-bacaan liturgi hari ini yang begitu meneguhkan kita untuk tidak takut dalam menghargai nilai-nilai kehidupan manusia. Nabi Yeremia dalam bacaan pertama merasakan sebuah ancaman serius dari orang-orang dekatnya. Ia bersaksi: “Semua sahabat karibku mengintai apakah aku tersandung jatuh.” Lihatlah sahabat-sahabat karib, orang-orang dekatnya ‘mengintai’ dan berharap sekiranya Yeremia tersandung jatuh. Pikirkanlah sahabat karib bukan sekedar teman bisa berpikiran seperti itu. Sahabat karib berpikir tentang Yeremia: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” (Yer 20:10). Hanya Tuhan saja yang tetap menghargai nilai-nilai hidup nabi Yeremia. Nabi Yeremia bahkan mengakui: “Tuhan menyertai aku seperti pahlawan yang gagah, sebab itu orang-orang yang mengejar aku akan tersandung jatuh dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan menjadi malu sekali, sebab mereka tidak berhasil, suatu noda yang selama-lamanya tidak terlupakan!” (Yer 20:11).
Terhadap Tuhan yang begitu menghargai nilai kehidupan Yeremia makai a menunjukkan rasa syukurnya kepada Tuhan: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku. Menyanyilah untuk Tuhan, pujilah Tuhan! Sebab ia telah melepaskan nyawa orang miskin dari tangan orang-orang yang berbuat jahat.” (Yer 20:12-13). Tuhan menunjukkan kasih dankebaikan-Nya kepada Yeremia secara nyata, dan tentu sangat berbeda dengan para sahabat dekatnya. Yeremia mensyukuri kasih dan kebaikan Tuhan. Kita tentu mengalami yang Namanya kawan menjadi lawan. Ada yang akrab dengan kita karena ada maunya. Setelah kebutuhannya terpenuhi maka kita pun dijauhi. Dan bukan hanya dengan sesame manusia, dengan Tuhan yang tidak kelihatan pun demikian. Orang hanya berdoa, bernovena kalau ada mau-maunya dengan Tuhan. Nah kalau demikian bagaimana kita dapat menghargai nilai-nilai kehidupan manusia?
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengajak kita untuk tidak merasa takut sebagai anak-anak Tuhan. Ia berkata: “Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28). Kita berhadapan dengan sebuah kenyataan bagaimana nilai hidup manusia tidak dijunjung tinggi ketika terjadi kekerasan fisik seperti membunuh dan kekerasan verbal kepada sesama manusia. Pada masa ini kekerasan fisik dan kekerasan verbal masih menguasai hidup manusia. Anda dan saya tidak luput dari kedua jenis kekerasan ini. Hampir setia saat bisa terungkap melalui pikiran, perkataan dan perbuatan kita.
Manusia begitu bernilai di hadirat Tuhan. Tuhan Yesus berkata: “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya.” (Mat 10:29-30). Bahkan manusia itu kamu ‘lebih berharga dari pada banyak burung pipit’ (Mat 10: 31). Nah, Tuhan begitu mengasihi dan menghargai nilai hidup manusia, mengapa kita begitu sulit menghargai nilai hidup kita sendiri dan nilai hidup sesama kita? Melalui gadget atau handphone, banyak orang saling membunuh karakternya, saling mengancam, marah, cemburu, iri dan dendam kepada sesama manusia. Semua jejak digital menjadi konsumsi publik dan benar-benar merendahkan martabat dan nilai luhur manusa di hadapan Tuhan pencipta dan sesama.
Santo Paulus dalam bacaan kedua berbicara tentang realitas dosa. Dosa manusia pertama telah membawa maut ke dalam dunia. Singkatnya akibat dosa adalah kematian. Kita memperhatikan akibat dosa asal maka nilai hidup manusia tidak dihargai. Misalnya, Kain bisa membunuh saudara kandungnya Abel. Dan kisah-kisah lain yang ada di dalam Kitab Suci yang menunjukkan betapa manusia lalai dalam memperhatikan dan menjaga nilai hidup manusia. Namun santo Paulus mengatakan: “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” (Rom 5:15). Kita berada di hadapan Tuhan yang begitu mengasihi kita. Melalui Yesus Kristus, kita semua dipanggil untuk membangun kultur kasih kepada semua orang.
Apa yang harus kita lakukan?
Tuhan Yesus dalam bagian pertama Injil hari ini mengajak kita untuk berani mewartakan Injil sebagai khabar sukacita kepada semua orang. Evangelium vitae atau Injil kehidupan haruslah kita wartakan secara terbuka kepada semua orang. Kita mengingat perkataan Tuhan Yesus ini: “Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.” (Mat 10:26-27). Mari kita mewartakan Injil kehidupan secara terang-terangan kepada sesama dan berusaha menghargai nilai-nilai kehidupan sesama kita.
Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Santo Yohanes Paulus II dalam Familiaris Constortio: “Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita semua untuk memulihkan kesadaran akan keutamaan nilai-nilai moral, yang merupakan nilai-nilai pribadi manusia. Tugas besar yang harus dihadapi saat ini untuk pembaharuan masyarakat adalah untuk mendapatkan kembali makna tertinggi dari kehidupan dan nilai-nilai dasarnya. Hanya kesadaran akan keutamaan nilai-nilai ini yang memungkinkan manusia untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan besar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan sedemikian rupa sehingga dapat membawa kemajuan sejati bagi pribadi manusia dalam seluruh kebenarannya, dalam kebebasan dan martabatnya. Ilmu pengetahuan dipanggil untuk bersekutu dengan kebijaksanaan.”
P. John Laba, SDB