Homili 26 Juni 2023

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XII
Kej. 12:1-9
Mzm. 33:12-13,18-19,20,22
Mat. 7:1-5

Apakah anda seorang Jadgmental?

Kita selalu berhadapan dengan sosok tertentu yang berpola pikir judgmental. Apa itu pola pikir judgmental? Pola pikir judgmental adalah suatu sifat dalam diri seseorang yang nampak dalam tindakannya ketika ia dengan sadar menghakimi orang lain atau kecenderungannya untuk membentuk suatu opini tertentu dengan begitu cepat terhadap sesuatu atau seseorang di luar dirinya. Kita bisa menilai diri kita atau diri sesama yang memiliki sifat judgmental. Misalnya, orang itu lebih mudah menilai penampilan orang baru, hobinya menggunjing, terkadang memberikan penilaian berdasarkan opini pihak ketiga, selalu menentang pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapat pribadinya dan memiliki Sifat pesimis terhadap situasi di sekitarnya. Nah, mari kita melihat di dalam diri kita, apakah ada unsur-unsur yang disebutkan sebelumnya juga dominan dalam diri kita? Apakah unsur-unsur dominan yang membuat kita menjadi pribadi judgmental mendatangkan keuntungan tertentu?

Saya merasa yakin bahwa memiliki pola pikir judgmental itu tidak sehat dan juga tidak berguna. Kita seharusnya berusaha untuk keluar dari penjara judgmental ini. Apa yang harus kita lakukan? Kita perlu memiliki kesadaran bahwa setiap orang memiliki kepribadian dan tindakan yang berbeda. Orang judgmental perlu mengontrol diri untuk tidak menghakimi orang lain. Orang judgmental perlu memposisikan diri sebagai orang lain yang juga memiliki keunikan. Orang judgmental mulai berpikir tentang persamaan bukan tentang perbedaan. Orang judgmental perlu berhenti berpikir yang selalu benar. Di atas langit masih ada langit.

Tuhan Yesus dalam pengajaran di bukit, mengatakan dengan jelas tentang pola pikir judgmental ini. Ia berkata: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat 7:1). Tuhan Yesus tahu bahwa orang yang disapa ‘berbahagialah’ masih memiliki kebiasaan dan kecenderungan untuk menghakimi sesamanya. Tuhan Yesus mengetahui anda dan saya yang sadar atau tidak sadar berpola pikir judgmental. Bagi Tuhan Yesus, kalau kita berpola pikir judgmental maka orang lain juga akan melakukan hal yang sama kepada kita, meskipun tak ada untungnya. Perhatikan perkataan Tuhan Yesus ini: “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Mat 7:2). Sebenarnya mudah untuk menjadi pribadi judgmental tetapi menyakitkan kalau orang lain melakukan itu kepada kita. Obatnya adalah janganlah menjadi pribadi judgmental.

Tuhan Yesus lebih jelas lagi mengambil contoh ini: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Mat 7:3-5). Pribadi judgmental itu seperti contoh ini. Kebiasaan menilai orang lain dari tampak luarnya saja. Padahal kalau kita menunjuk sesuatu biasanya dua jari ke depan dan tiga jari menunjuk kepada kita sendiri. Kemunafikan masih menguasai diri kita sehingga relasi dengan sesama pun hanya basa basi atau pebuh dengan kecurigaan. Pikirkanlah bahwa pola pikir judgemental ini melekat dalam diri kita. Kita bisa saja menggunakan mata, tangan atau bibir untuk menunjukkan pola pikir judgmental ini.

Mari kita memandang sosok inspiratif yang bisa mengubah pola pikir judgmental dalam diri kita. Pertama, Tuhan Yesus sendiri. Orang banyak datang kepada-Nya. Ia menunjukkan kasih dan kebaikan kepada mereka semua. Orang sakit disembuhkan, yang lumpuh bisa berjalan, yang buta melihat, yang tuli bisa mendengar bahkan yang mati pun dibangkitkan. Sikap Yesus ini mestinya mentransformasi pola pikir kita yang sempit ini. Pengajaran Tuhan Yesus hari ini mengoreksi diri kita. Mari kita berubah!

Sosok kedua adalah Abram. Abram mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk berkesodus. Dia memiliki segalanya, tanah, ternak dan kekuasaan. Namun demikian dia begitu terbuka pada rencana Allah. Ia malah dipanggil dari zona nyamannya (comfort zone) ke zona yang menuntut keberanian (courage zone). Dia meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tanah Kanaan yang konon penuh dengan susu dan madu. Inilah perkataan Tuhan kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej 12:1-3). Abram bukanlah pribadi judgmental! Dia adalah sahabat Tuhan yang patuh kepada-Nya.

Pada hari ini kita belajar untuk berbenah diri. Mari kita meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk di dalam diri kita. Biarlah kita bertumbuh bersama, ko-eksistensi tanpa dendam dan tanpa label ‘judgmental heart’ atau berhati suka menghakimi.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Ellen J. Barrier. Beliau adalah seorang penulis lagu dan penyanyi Afro Amerika. Ia pernah berkata: “Sebelum Anda menghakimi orang lain atas tindakan yang salah, periksalah perilaku Anda dan lihatlah apakah Anda juga pernah melakukan tindakan yang serupa atau bahkan lebih buruk dari tindakan yang dilakukan orang tersebut. Dengan begitu, Anda tidak akan berada dalam posisi untuk menghakimi.”

P. John Laba, SDB