Peringatan Wajib St. Andreas Dung Lac
1Mak. 4:36-37,52-59
MT 1Taw. 29:10,11abc,11d-a2a,12bcd
Luk. 19:45-48
Menguduskan Rumah Tuhan
Pada hari ini kita mengenang Santo Andreas Dung-Lac dan teman-temannya sebagai martir dari Vietnam. Sant Andreas Dung-Lac, adalah seorang yang bertobat menjadi katolik lalu mengikuti pembinaan hingga menjadi seorang imam. Santo Andreas bersama 117 orang lainnya menjadi martir di Vietnam antara tahun 1820 dan 1862. Para martir ini terdiri dari 96 orang Vietnam, 11 orang Spanyol, dan 10 orang Prancis. Dari 117 orang ini, terdapat 8 orang uskup, 50 orang imam dan 59 orang awam katoli. Para imam berasal dari Ordo Dominikan, Praja dan Imam Serikat Misi Paris (MEP). Mereka semua dibeatifikasi dalam empat kesempatan berbeda antara tahun 1900 dan 1951. Selanjutnya, mereka semuanya dikanonisasi selama masa kepausan Santo Yohanes Paulus II.
Agama Katolik masuk ke Vietnam melalui para misionaris Yesuit dari Portugal. Mereka membuka misi permanen pertama di Da Nang pada tahun 1615. Mereka melayani umat Katolik berkebangsaan Jepang yang telah diusir dari Jepang. Penganiayaan berat bagi para martir ini berlangsung setidaknya tiga kali pada abad ke-19. Selama enam dekade setelah tahun 1820, antara 100.000 hingga 300.000 umat Katolik dibunuh atau mengalami penderitaan yang luar biasa. Para misionaris asing yang menjadi martir pada gelombang pertama termasuk di antaranya para imam dari Paris Mission Society, serta para imam dan para Dominikan dari Spanyol. Pada tahun 1832, Kaisar Minh-Mang melarang semua misionaris asing, dan mencoba membuat semua orang Vietnam menyangkal iman mereka dengan menginjak-injak salib.
Penganiayaan terjadi lagi pada tahun 1847, ketika kaisar mencurigai para misionaris asing dan orang-orang Kristen Vietnam bersimpati pada pemberontakan yang dipimpin oleh salah satu putranya. Martir terakhir adalah 17 orang awam, salah satunya anak berusia 9 tahun, yang dieksekusi pada tahun 1862. Pada tahun itu, dilakukan sebuah perjanjian dengan Perancis menjamin kebebasan beragama bagi umat Katolik, tetapi tidak menghentikan semua penganiayaan. Pada tahun 1954, ada lebih dari satu juta umat Katolik – sekitar tujuh persen dari penduduk di bagian utara Vietnam. Umat Buddha berjumlah sekitar 60 persen. Penganiayaan yang terus menerus memaksa sekitar 670.000 umat Katolik meninggalkan tanah, rumah dan harta benda mereka dan mengungsi ke selatan Vietnam. Pada tahun 1964, masih ada 833.000 umat Katolik di utara, tetapi banyak yang dipenjara. Di selatan, umat Katolik menikmati dekade pertama kebebasan beragama dalam berabad-abad, jumlah mereka membengkak dan kebanyakan mereka adalah para pengungsi. Selama perang Vietnam, umat Katolik kembali menderita di utara, dan sekali lagi pindah ke selatan dalam jumlah besar. Kini setelah bersatu kembali, seluruh negeri berada di bawah kekuasaan Komunis. Satu hal yang penting adalah iman dan salib jauh lebih kuat dari segala kekuatan apapun, sebab Tuhan sungguh hadir di negeri ini.
Para martir menguduskan diri mereka dengan darah mereka yang tercurah karena iman dan cinta mereka kepada Tuhan. Dengan meminjam perkataan Tuhan dalam Kitab Wahyu: “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba”. (Why 7:14). Tubuh mereka yang berlumuran darah adalah bait Allah yang hidup.
Bacaan-bacaan liturgi pada hari ini mengingatkan kita akan pentingnya menguduskan rumah Tuhan. Di dalam bacaan pertama, kita mendengar kisah tentang usaha untuk mentahirkan kembali Bait Allah dan mentahbiskannya kembali setelah dicemarkan. Seluruh rakyat pun siap untuk mempersembahkan kurban sesuai hukum Taurat di atas mezbah kurban bakaran baru yang mereka buat. Jemaat yang hadir menyanyikan puji-pujian, meniarap dan sujud menyembah kepada Tuhan. Bait Allah mempersatukan mereka semua.
Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah yang paralel. Tuhan Yesus sudah memasuki kota Yerusalem. Tempat pertama yang dikunjunginya adalah Bait Allah. Tempat di mana Dia selalu bersatu dengan Bapa di Surga. Namun apa yang terjadi? Dia merasa kaget karena Bait Allah sudah berubah menjadi sarang penyamun. Di tempat yang kudus ini, para pedagang berjualan tanpa merasa bersalah. Yesus bahkan mengatakan: “Rumah-Ku adalah rumah doa, tetapi kalian menjadikannya sarang penyamun”. Setelah menguduskan Bait Allah, Ia menggunakan kesempatan untuk mengajar di dalam Bait Allah. Ada persekongkolan jahat untuk melenyapkan Yesus namun para imam kepala dan para ahli Taurat itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Di lain pihak, begitu banyak orang yang terpikat pada Kristus dan mendengar-Nya.
Mari kita memikirkan hidup kita di hadirat Tuhan. Banyak kali kita juga mencemarkan Bait Allah. Kita mencemarkan tubuh kita sebagai ‘Bait Roh Kudus’. Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus (1Kor 6:19). Kita tidak menghargai nilai tubuh sesama kita. Betapa banyak orang yang sadar atau tidak sadar melecehkan tubuh sesama yang lain terutama yang rentan. Hal yang lain adalah penghargaan kita terhadap rumah Tuhan sangatlah minim. Orang mengikuti misa kudus sambil membaca pesan di Handphone, bermain game online, transfer dana dari mobile banking. Aktifitas ekonomi berlangsung saat sedang ada Ekaristi. Ada juga umat yang datang dengan pakaian yang tidak mencerminkan dia mengikuti Ekaristi sebagai pesta atau perjamuan. Sesama kita yang Muslin dan Protestan jauh lebih rapi ketika pergi berdoa.
Pada Bulan September tahun 2018, Paus Fransiskus menegur kita semua dengan teguran keras: “Memang benar bahwa perayaan itu harus indah – indah – tetapi tidak duniawi, karena keduniawian bergantung pada dewa uang. Itu adalah penyembahan berhala seperti yang lainnya. Hal ini membuat kita berpikir tentang sikap kita terhadap rumah Tuhan, rasa hormat kita terhadap gereja ketika kita masuk”. Selanjutnya, Paus Fransiskus juga bertanya-tanya apakah kita memperlakukan “bait suci, gereja kita” sebagai rumah Tuhan, rumah doa, tempat bertemu dengan Tuhan, dan apakah para imam memperlakukannya seperti itu. Paus mengingatkan kembali kejadian-kejadian di mana ada daftar harga sakramen-sakramen yang tidak dikenakan biaya. Bagi mereka yang berpendapat bahwa itu adalah persembahan, persembahan harus dimasukkan secara diam-diam ke dalam kotak tanpa ada yang menyadarinya.
Mari kita berusaha untuk menguduskan rumah Tuhan. Kita juga menguduskan tubuh kita sebagai Bait Allah yang hidup. Santo Andreas Dung-Lac, doakanlah kami. Amen.
P. John Laba, SDB