Homili 1 Februari 2024

Hari Kamis Pekan Biasa ke-IV
1Raj. 2:1-4,10-12
MT 1Taw. 29:10,11ab,11d-12a,12bcd
Mrk. 6:7-13

Kuatkanlah hatimu!

Hidup ini hanya sementara saja. Hidup ini adalah kesempatan. Demikianlah kedua ungkapan ini selalu kita dengar bersama baik dalam percakapan lisan maupun tulisan. Kita harus mengakui bahwa hidup ini sementara saja karena ada awalnya yaitu saat kita lahir ke dunia dan ada saat akhirnya yaitu pada saat saudara maut menjemput. Saya mengingat penulis Kitab Pengkotbah mengungkapkannya dengan jelas tenang waktu kehidupan kita: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal…” (Pkh 3:1-2). Kita semua tidak akan luput dari kematian. Kita akan mengalaminya. Hal yang penting bagi kita adalah selalu siap untuk menyambut kematian dengan riang gembira. Kekuatan hati menjadi penting dan harus di dalam hidup kita.

Saya tertarik dengan sosok Daud di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Nama Daud (bhs Ibrani: דָּוִד bermakna ‘yang dikasihi’. Nama ini merujuk pada dirinya sendiri, sejak kelahiran, keterpilihan sebagai raja selama 40 tahun melayani bangsa Israel hingga kematian datang menjemput, Daud tetap dikasihi Allah. Padahal Daud adalah seorang pria yang memiliki banyak kekurangan (misalnya, ia melakukan dosa dengan Batsyeba, pembunuhan Uria, sensus penduduk yang tidak tepat karena hanya menunjukkan kesombongannya, dia tidak mengelola rumah tangganya dengan baik, dan lain-lain). Terlepas dari semua kekurangan yang dimiliki sepanjang hidupnya, Daud menunjukkan keterbukaan hatinya kepada Tuhan. Dia berani untuk memohon pengampunan dan penyesalan kepada Tuhan.

Inilah sebuah doa di dalam Kitab Mazmur berupa ucapan penyesalannya kepada Tuhan setelah melakukan dosa dengan Batsyeba: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu. Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku. Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!” (Mzm 51:3-7). Orang berdosa yang bisa membuka dirinya kepada Tuhan maka Tuhan akan mengubahnya secara radikal.

Menjelang akhir hidupnya, Daud memanggil Salomo anaknya dan berkata: “Aku ini akan menempuh jalan segala yang fana, maka kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki.” (1Raj 2:2). Jalan segala yang fana adalah waktu kematiannya. Daud melihat bahwa ada waktu untuk hidup dan ada waktu untuk meninggal. Sebab itu ia hendak menyerahkan tongkat estafet kepada Salomo dengan dua pesan istimewa yaitu, tetap memiliki hati yang teguh dan kuat dan belaku seperti laki-laki yang kesatria. Selanjutnya Daud juga memberika wejangan-wejangan akhir kepada Salomo yang bijaksana sebagai berikut: Supaya Salomo dapat melakukan kewajibannya dengan setia kepada Tuhan, hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan, mengikuti segala ketetapan Tuhan, keturunannya tidak akan terputus.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar Tuhan Yesus, Anak Daud, menguatkan hati kedua belas murid sekaligus mengutus mereka untuk pergi berdua-dua. Kekuatan hati itu yang diberikan Yesus berupa kuasa kepada mereka untuk menguasai roh-roh jahat, mewartakan pertobatan, mengusir setan-setan dan menyembuhkan sakit penyakit orang yang mereka jumpai di tanah misi. Sikap sebagai murid yang baik di tanah misi adalah memiliki hidup sederhana supaya lebih leluasa melayani di tempat perutusan mereka. Tuhan Yesus benar-benar menuntut komitmen keduabelas murid-Nya untuk terus melayani dan bertahan manakala ada kesulitan yang mereka akan hadapi. Ketika mengalami penolakan dan tidak ada jalan lain maka mereka dapat meninggalkan tempat itu dengan mengebaskan debu di kaki mereka dan melanjutkann perjalanan ke tempat-tempat lain. Hal terpenting adalah Tuhan Yesus dan kuasa yang dititip-Nya itu dapat dikenal dan diterima serta diimani semua orang.

Tentu saja kita juga perlu untuk saling menguatkan hati satu sama lain. Para pasutri saling menguatkan hati dan meneguhkan satu sama lain. Para orang tua menguatkan hati dan meneguhkan anak-anak supaya bertumbuh menjadi dewasa. Para imam, biarawan dan biarawati saling menguhkan di dalam komunitas untuk menjalani tugas perutusan sesuai dengan semangat tarekatnya. Kita semua butuh untuk saling menguatkan dan meneguhkan. Kita semua butuh Tuhan sumber kekuatan kita. Renungkan pesan ini dan katakanlah kepada sesame di sekitarmu: Kuatkanlah hatimu!

P. John Laba, SDB