Homili 4 Februari 2024 – Hari Minggu Biasa ke-V/A

4 Februari 2024 – Hari Minggu Biasa VA
Ayb. 7:1-4,6-7
Mzm. 147:1-2,3-4,5-6
1Kor. 9:16-19,22-23
Mrk. 1:29-39

Merajut Empati Bersama Tuhan dan Sesama

Adalah Dietrich Bonhoeffer. Dalam karyanya ‘Letters and Papers from Prison’, ia menulis begini: “Kita harus belajar untuk tidak terlalu melihat orang dari apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan, dan lebih melihat dari apa yang mereka derita.” Perkataan ini merupakan sebuah dukungan bagi kita supaya memiliki kebiasaan dan sikap untuk berempati kepada sesama manusia terutama mereka yang sakit dan menderita. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini menunjukkan rasa empatinya kepada orang sakit. Yakobus dan Yohanes menemani Yesus untuk mengunjungi mertua Simon yang terbaring karena sakit demam. Cara menyembuhkannya sangat sederhana: Tuhan Yesus memegang tangan, membangunkannya, dan seketika itu lenyaplah demamnya. (Mrk 1:31). Sebagai ucapan syukurnya, mertua Simon yang sudah sembuh itu melayani Yesus dan para murid-Nya. Tuhan Yesus juga merajut empati dengan begitu banyak orang sakit dan yang kerasukan setan untuk disembuhkan-Nya. Tuhan Yesus juga bersyukur kepada Bapa melalui doa setelah menyembuhkan orang-orang sakit dan mereka yang kerasukan setan. Dia tetap semangat untuk berkeliling dan berbuat baik dengan mewartakan Injil.

Santo Paulus merajut empati dengan jemaat di Korintus. Ia tetap tekun dalam mewartakan Injil. Semangat misionernya itu terungkap dalam perkataannya: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16). Paulus berkomitmen untuk mewartakan Injil sampai tuntas dan dalam situasi apa saja. Ia berkata: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” (1Kor 9:23).

Ayub dalam bacaan pertama adalah sosok seorang yang menderita. Ia mengharapkan kasih karunia dari pihak Tuhan kepadanya. Bahwa pengalaman penderitaan yang dialaminya membuat dia semakin berusaha untuk menata rasa empatinya karena sudah banyak orang yang lebih dahulu berempati. Ayub berkata dengan nada pesimis berkata: “Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada torak, dan berakhir tanpa harapan. Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas; mataku tidak akan lagi melihat yang baik.” (Ayb 7:6-7). Di balik perasaan pesimis karena kemalangan dalam hidup, Tuhan tetap memperhatikannya dengan memberikan perasaan empati kepadanya. Pada akhirnya Ayub merasakan kebahagiaan yang jauh lebih dari apa yang sudah dialaminya.

Pada hari ini kita semua dipanggil untuk merajut rasa empati kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD). Merajut empati adalah sebuah jalan pewartaan Injil masa kini yang benar-benar hidup dan kontekstual.

Doa: Tuhan, Engkau begitu berempati dengan manusia yang lemah dan berdosa. Mereka yang sakit Engkau menjamah dan menyembuhkannya, Engkau juga yang membebaskan mereka dari kuasa roh jahat. Semoga kami selalu bersyukur karena Engkau juga menyembuhkan sakit penyakit kami. Amen.

P. John Laba, SDB