Homili 10 Februari 2024 – Santa Skolastika

Perayaan Wajib St. Skolastika
1Raj. 12:26-32; 13:33-34
Mzm. 106:6-7a,19-20,21-22
Mrk. 8:1-10

Manusia berjiwa Ekaristis

Pada hari ini kita mengenang santa Skolastika. Berikut ini saya mengutip tulisan santo Gregorius Agung tentang santa Skolastika: “Ketika ia mendengar saudaranya menolak permintaannya, wanita kudus ini menaruh kedua tangannya di atas meja, meletakkan kepalanya di atas meja dan mulai berdoa. Ketika ia mengangkat kepalanya dari atas meja, terdengar kilat dan petir yang begitu cemerlang, guntur yang menggelegar dan hujan lebat sehingga baik Benediktus maupun saudara-saudaranya tidak dapat bergerak melewati ambang pintu tempat mereka duduk. Dengan sedih ia mulai mengeluh: “Semoga Tuhan mengampunimu, saudari. Apa yang telah engkau lakukan?” “Baiklah,” jawabnya, “Saya telah memohon kepadamu dan engkau tidak mau mendengarkan, jadi saya memohon kepada Allahku dan Dia mendengarkan. Maka sekarang pergilah, jika kamu bisa, tinggalkan aku dan kembalilah ke biara.” Kesaksian santo Gregorius ini adalah tentang percakapan akhir santa Skolatika dan santo Benediktus kakaknya. Skolastika adalah sosok orang kudus yang bersatu dengan Tuhan. Hatinya penuh syukur kepada Tuhan. Hidupnya menjadi pribadi ekaristis.

Menjadi manusia yang berjiwa Ekaristis. Ini haruslah menjadi DNA kita sebagai pengikut Kristus. Kita mengetahui bahwa Ekaristi Mahakudus adalah Tuhan Yang Mahakudus hadir secara fisik di bumi sebagai makanan bagi umat Kristiani yang setia. Kata Yunani eucharistia berarti “ucapan syukur” dan Ekaristi adalah kurban tertinggi sebagai ucapan syukur sang Putera kepada Bapa-Nya di Surga. Maka setiap kali kita mengambil bagian dalam Ekaristi dengan layak, kita berpartisipasi secara intim dan pribadi dalam Tuhan dan Juruselamat kita yang terberkati. Dalam Ekaristi Mahakudus, Tuhan Yesus mengubah diri kita menjadi bagian dari diri-Nya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah Yesus yang begitu luar biasa. Hati-Nya selalu tergerak oleh belas kasihan kepada orang-orang di sekitar-Nya. Ketika melihat orang banyak yang penuh antusias mengikuti-Nya selama tiga hari maka hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk memberi makan kepada mereka. Orang-orang itu tidak memiliki makanan. Mereka membutuhkan Tuhan untuk memberi mereka makan. Tuhan Yesus menggunakan kesempatan untuk mengajar para murid-Nya supaya dapat memberi makan kepada orang lain. Pada saat itu, orang banyak hanya memiliki tujuh roti dan beberapa ikan. Dari jumlah roti dan ikan yang sedikit ini, Tuhan Yesus dapat memberi makan kepada empat ribu orang dan masih tersisa tujuh bakul penuh.

Mengapa jumlah yang sedikit ini dapat memberi makan banyak orang dan masih ada sisa? Ada beberapa alas an yang dapat membantu kita untuk berefleksi lebih lanjut:

Pertama, Tuhan Yesus mengajar para murid dan kita yang mendengar Injil saat ini untuk selalu bersyukur. Kita bersyukur atas sedikit dan banyak yang kita miliki di hadiratnya. Tuhan Yesus membuktikannya ketika Ia menerima tujuh roti dan beberapa ikan itu dan menyatakan syukur-Nya kepada Bapa di Surga. Penginjil Markus bersaksi: “Lalu Yesus menyuruh orang banyak itu duduk di tanah. Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan, dan mereka memberikannya kepada orang banyak.” (Mrk 8:6). Tuhan Yesus berekaristi, bersyukur kepada Bapa di surga. Tuhan Yesus tidak mengelu karena hanya ada tujuh roti dan beberapa ikan. Ketika Dia bersyukur kepada Bapa maka yang sedikit itu menjadi berlimpah-limpah. Kita harus berjiwa ekaristis. Apakah kita memiliki hati penuh syukur karena sedikit yang kita miliki? Atau kita selalu merasa kekurangan sehingga menjadi serakah?

Kedua, Tuhan Yesus menghendaki agar rasa syukur itu jangan hanya menjadi milik kita tetapi kita membagikannya. Tuhan Yesus menunjukkan ini dalam bacaan Injil: “Tuhan Yesus memberikan roti dan ikan kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan, dan mereka memberikannya kepada orang banyak.” (Mrk 8:6). Dari jumlah yang sedikit, ketika dibagikan sebagai tanda kepedulian kita maka yang sedikit itu menjadi banyak dan masih tersisah. Tuhan Yesus membuktikan dan para murid menyaksikannya. Kita dipanggil Tuhan untuk ikut berbagi, tidak takut menjadi miskin karena berbagi kepada sesama. Selalu ada yang tersisa, artinya kita tidak akan melarat karena berbagi kepada sesama kita.

Ketiga, hidup ini bermakna kalau kita selalu bermurah hati. Tuhan Yesus berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Lukas 6:36). Banyak kali kita sulit bermurah hati karena kita masih hitung-hitungan dalam berbagi. Berbagi itu seperti air di dalam gelas. Air itu hanya berguna kalau diminum, dan kemudian pasti akan diisi kembali sehingga gelas itu penuh kembali. Demikian juga rahmat Tuhan, kalau kita bisa membagikan dengan murah hati maka betapa indahnya. Orang akan memuji Tuhan yang kita Imani karena Dia murah hati adanya.

Keempat, Apa resikonya kalau kita tidak bersyukur? Kita hanya akan menjadi manusia yang gagal di dalam hidup kita. Contohnya adalah Raja Yerobeam di dalam bacaan pertama. Dia sudah mendapat sepuluh bagian dari Kerajaan, namun dia tidak bersyukur. Yang ada padanya adalah nafsu untuk berkuasa dan menyembah berhala dengan membuat dua anak lembu emas untuk disembah di Betel dan Dan. Konsekuensi bagi Raja Yerobeam diceritakan di dalam Kitab Suci: “Sesudah peristiwa inipun Yerobeam tidak berbalik dari kelakuannya yang jahat itu, tetapi mengangkat pula imam-imam dari kalangan rakyat untuk bukit-bukit pengorbanan. Siapa yang mau saja, ditahbiskannya menjadi imam untuk bukit-bukit pengorbanan. Dan tindakan itu menjadi dosa bagi keluarga Yerobeam, sehingga mereka dilenyapkan dan dipunahkan dari muka bumi.” (1Raj 13:33-34). Akibat dosa adalah kematian.

Mari kita memohon, semoga santa Skolastika membantu kita untuk menjadi pribadi yang ekaristis. Santa Skolastika, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB