Homili 14 Februari 2024 – Rabu Abu

14 Februari 2024 – HARI RABU ABU
Pantang dan Puasa.
Yl. 2:12-18
Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17
2Kor. 5:20-6:2
Mat. 6:1-6,16-18

Pantang dan Puasa lagi…

Selamat memasuki Retret Agung 2024. Selama 40 hari ke depan kita akan mengisi Retret Agung kita ini dengan berpuasa dan berpantang. Biasanya hari-hari ini umat akan rajin bertanya kepada para pastor tentang puasa dan pantang, meskipun Bapa Uskup sendiri menulis surat gembala tentang peraturan pantang dan puasa bagi umat katolik. Saya mengingat sebuah perkataan dari santo Yohanes Krisostomus, tentang puasa yang benar adalah: “Janganlah hanya mulutmu saja yang berpuasa, tetapi juga mata, telinga, kaki, tangan, dan seluruh anggota tubuhmu. Hendaklah tangan berpuasa, dengan tidak melakukan ketamakan dan keserakahan. Hendaklah kaki berpuasa, dengan berhenti mengejar dosa. Hendaklah mata berpuasa, dengan mendisiplinkan diri untuk tidak memelototi apa yang berdosa. Hendaklah telinga berpuasa, dengan tidak mendengarkan pembicaraan jahat dan gosip. Hendaklah mulut berpuasa dari kata-kata kotor dan kritik yang tidak adil (fitnah, fitnah, celaan).”

Perkataan orang kudus ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh nabi Yoel dalam bacaan pertama: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” (Yl 2:13). Kita berpuasa dan berpantang itu bukan urusan makan dan minum, tidak makan dan tidak minum. Puasa yang terpenting itu adalah soal hati. Sebuah transformasi dalam hati kita.

Maka apa yang harus kita lakukan dalam masa Retret Agung ini? Kita semua diajak untuk pertama, melakukan karya amal kasih. Perhatian kita tercurah pada sesama kita yang Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel (KLMTD). Kedua, Kita semakin bertumbuh dalam doa. Doa menjadi sebuah kebutuhan kita bukan sekedar sebuah kewajiban. Ketiga, Kita berpuasa sebagai tanda pertobatan kita kepada Tuhan.

Pada hari pertama Retret Agung ini, kita semua menyadari kefanaan diri kita. Kita dingatkan: “Dari debu dan akan kembali menjadi debu” atau dengan menengadah ke langit kita berseru kepada Tuhan: “Hanya debulah aku, di alas kaki-Mu Tuhan”. Itulah seruan tobat bagi kita di hadirat Tuhan. Mari kita bertobat dan membaharui diri kita.

Doa: Tuhan, anugerahkanlah pertobatan di dalam hati kami, supaya kami dapat beramal, berdoa dan berpuasa dengan baik. Amen

P. John Laba, SDB