Selalu ada Prasangka

Selalu ada prasangka

Ada seoramg sahabat yang mengatakan: “Selagi kita masih bernapas pasti selalu ada prasangka”. Yah, kita semua selalu mendengar kata prasangka atau praduga. Prasangka merupakan penilaian negatif atau ketidaksukaan bahkan kebencian seseorang terhadap suatu kelompok ataupun individu yang di wujudkan melalui sikap negatif yang biasanya terjadi karena adanya konfilik atau ketidaksukaan terhadap individu atau kelompok lain. Dalam bidang psikologi, prasangka selalu dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut pendapat atau sikap yg berdasarkan pada emosi sehingga tidak terbuka terhadap alasan yang berlawanan dengan apa yang diyakini. Kata “prasangka” ini pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Allport. Kata “prasangka” diambil dari kata praejuducium, artinya sebuah pernyataan atau kesimpulan yang berdasarkan pada pengalaman atau perasaan yang cukup dangkal terhadap individu lain atau kelompok lainnya. Maka saya mengingat kembali perkataan sahabat di atas bahwa ‘selagi kita masih bernapas selalu ada prasangka’ sungguh terjadi di dalam kehidupan kita. Prasangka itu dapat muncul ketika orang mencari dan mengkambinghitamkan sesama, ada pendapat atau anggapan umum terhadap suatu lingkungan atau kelompok tertentu dan orang juga lebih banyak melihat titik-titik perbedaan dari pada persamaan sebagai sesama.

Di dalam keluarga para suami dan istri yang mulanya mewujudkan ‘satu daging’ sampai mau memisahkan, namun mereka masih memiliki prasangka yang mewarnai relasi mereka. Ketika salah seorang tidak mengirim pesan singkat, video call, terlambat ke rumah maka prasangka mulai menjadi raja sehingga menimbulkan bentrok. Di tempat kerja, meskipun orang berada di dalam satu gedung atau ruang yang sama, namun prasangka selalu mewarnai relasi antart pribadi. Di dalam komunitas hidup bakti juga sama, prasangka selalu mengancam bahkan membawa keretakan di dalam komunitas.

Tuhan Yesus saja mengalami prasangka buruk dari para pakar Kitab Suci. Mereka mengatakan bahwa Yesus bisa mengadakan tanda-tanda heran seperti mengusir setan dan kuasa jahat karena ada kuasa dari penghulu setan yang memampukkan Yesus untuk mengusir setan. Kepada Tuhan saja ada prasangka seperti ini, apalagi kepada manusia yang kelihatan. Manusia yang selalu betrprasangka dapat menjadi serigala atas sesamanya.

Apakah kita harus tetap menikmati prasangka dalam diri kita? Apa untungnya? Sebenarnya tidak ada yang menguntungkan sama sekali. Kita seharusnya menyadari bahwa setiap manusia adalah sesama kita. Kita mengasihi, mendoakan, mengampuni, sabar seperti yang Tuhan Yesus lakukan sendiri. Kita berusaha untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan amal kasih yang bernilai positif dalam hidup kita dan sesama. Kita juga dapat menolong sesama untuk keluar dari kuasa prasangka di dalam dirinya. Apakah anda sedang berprasangka terhadap seorang, sesuatu bahkan Tuhan sendiri?

P. John Laba, SDB