Food For Thought: Cinta Sejati

Cinta sejati

Saya mengingat kembali pelayanan misioner saya di Pulau Sumba di awal tahun 2000-an silam. Pada suatu hari saya melewati sebuah kampung di daerah Wejewa. Ada sepasang suami istri yang sudah memasuki usia senja sedang duduk-duduk santai di depan ‛rumah panggung’. Mareka memanggil saya: ‘Pater, singgah sebentar di gubuk kami ini’. Saya pun singgah dan menyalami kedua orang tua ini. Mereka tinggal berduaan saja karena berdasarkan pengakuan mereka bahwa hingga memasuki usia senja, Tuhan belum menganugerahi keturunan kepada mereka. Namun mereka tetap melanjutkan kebersamaan mereka sebagai suami istri dengan penuh sukacita. Saya bertanya kepada mereka tentang kemungkinan untuk memelihara anak atau mengadopsi anak di masa lalu, namun mereka tetap memilih berduaan untuk saling melayani dan membahagiakan.

Sambil berbincang-bincang, saya memperhatikan sang ibu sedang menumbuk sesuatu dengan alatnya yang sederhana. Saya bertanya kepadanya tentang alat dan apa yang sedang ia tumbuk. Ia mengatakan bahwa oleh karena kedua-duanya sudah mulai memiliki gigi ompong sehingga untuk makan sirih pinang, mereka harus bergantian menumbuk sirih pinang dan saling berbagi satu sama lain. Saya memperhatikan keduanya saling berbagi sambil tersenyum menikmati siri pianang dan gulungan daun tembakau. Sang bapa berkata kepada saya: “Pater, kami orang Sumba menyukai sirih pinang’. Saya tersenyum sambil merasa bangga karena berjumpa dengan kedua orang tua yang sederhana namun mengajarkan pelajaran hidup yakni cinta sejati.

Kita semua mendengar dan mengalami cinta. Memang cinta itu bukanlah sesuatu yang diungkapkan semata tetapi sebuah pengalaman. Cinta adalah segala sifat yang nampak dalam kebaikan hati, perasaan empati, dan kasih sayang. Maka cinta sebagai suatu pengalaman merupakan luapan emosi dari kasih sayang yang kuat atas ketertarikan di dalam diri pribadi kita dengan sesama dan dengan Tuhan sang Pencipta. Bagaimana dengan cinta sejati sebagaimana yang saya alami bersama pasutri yang sudah memasuki usia senja ini? Ya, cinta sejati merupakan perasaan tulus yang datang dari lubuk hati yang paling dalam. Cinta sejati itu mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan sesama. Untuk memiliki cinta sejati memang membutuhkan suatu proses yang panjang. Sebagaimana saya saksikan pada pasutri ini, selama lebih dari lima puluh tahun pernikahan, mereka terus belajar untuk saling memahami satu sama lain. Mereka sendiri pernah saling memarahi satu sama lain karena ‘sirih dan pinang’ di rumah panggung itu, namun cinta mereka tidak pupus dimakan waktu karena cinta sejatinya semakin kuat.

Saya membayangkan bahwa kalau saja para pasutri masa kini, terutama mereka yang masih merupakan keluarga muda dapat belajar dari para pasutri yang sudah memasuki masa senja, tetap setia dan mesra maka betapa keluarga menjadi sebuah sekolah persekutuan kasih. Cinta sejati adalah cinta sejati.

Saya pernah m,endengar perkataan ini: ‛Saya senang melihat pasangan yang sudah memasuki usia senja ini. Pasangan ini membuat saya semakin menyadari bahwa seseorang dapat mencintaik dirimu SELAMANYA’. Anda dan saya, sesuai dengan panggilan kita masing-masing perlu terus berusaha untuk megalami dan memiliki cinta sejati. Hanya dengan demikian kita menjadi pribadi yang bahagia dan mampu mencintai.

P. John Laba, SDB