Memahami Makna Puasa
Puasa adalah salah satu praktik keagamaan tertua di dalam sejarah manusia. Namun demikian, kita juga harus jujur mengakui bahwa di dalam masyarakat kita saat ini, sebuah masyakat yang sadar atau tidak disadari sedang didikte oleh perilaku konsumerisme, materialisme, dan kurangnya pengendalian diri, demiukian juga disiplin puasa secara luas tidak dihargai lagi. Gereja Katolik tetap menjadi salah satu dari sedikit institusi di dunia yang menjunjung tinggi martabatnya dan menegaskan pentingnya puasa dalam kehidupan rohani. Jadi, kita harus bertanya: Mengapa Bunda Gereja begitu bersikeras dengan kebiasaan yang dianggap kuno ini dan apa asal-usulnya?
Santu Basilius Agung dalam homili Prapaskahnya mencatat bahwa puasa sama usianya dengan umat manusia itu sendiri. Faktanya adalah bahwa puasa adalah perintah pertama yang diterima manusia pertama dari Tuhan di Taman Firdaus: “Janganlah kamu makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu” (Kej. 2:17). Menurut santo Basilius Agung, kegagalan untuk berpuasa yang menyebabkan kejatuhan manusia di taman Firdaus. Oleh karena itu, puasa adalah salah satu solusi untuk mendapatkan kembali martabat asli dari identitas kita sebagai anak-anak Allah: “Karena kita tidak berpuasa, maka kita diusir dari surga. Maka marilah kita berpuasa agar kita dapat kembali ke sana” (Homili Pertama Santu Basilius Agung tentang Puasa, sekitar abad ke-4). Dalam mandat primordial untuk berpuasa ini, Basilius Agung mengakui adanya tujuan ganda berpuasa. Pertama, puasa membantu jiwa untuk mencapai kedewasaan. Seperti yang diketahui oleh setiap psikolog, kurangnya disiplin dan pengendalian diri adalah tanda-tanda ketidakdewasaan manusia. Kegagalan untuk bersabar, membuat keputusan yang bijaksana, dan secara bertanggung jawab menikmati makanan, minuman, atau sebuah relasi khusus merupakan penyimpangan yang parah dalam perkembangan manusia. Inilah sebabnya mengapa melatih pengendalian diri secara teratur melalui puasa sangat penting bagi kehidupan rohani kita. Ini tentu bukan hanya tentang kita meninggalkan sesuatu karena Gereja mengatakan demikian. Semakin banyak kita berlatih untuk berpuasa dan berpantang, semakin kita menjadi dewasa, beralih dari ketidakdewasaan dari kepuasan yang segera didapat kepada sebuah kedewasaan dalam mengonsumsi hal yang diatur. Karena puasa adalah “pendamping ketenangan dan seni pengendalian diri kita”.
Dengan demikian, puasa membantu kita untuk menumbuhkan satu kebajikan secara khusus – yaitu, pengendalian diri, sebuah kualitas yang jarang dibicarakan di zaman kita sekarang ini. Santu Paulus mengidentifikasikannya sebagai salah satu buah Roh Kudus: “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Galatia 5:23). Kata Yunani yang digunakan Paulus adalah egkrateia (ἐγκράτεια) yang terdiri dari dua kata, yaitu kata ‘en’ yang berarti “dari dalam” dan ‘kratos’ yang berasal dari kata dasarnya yang berarti “menyempurnakan”. Dengan demikian, seseorang memiliki pengendalian diri secara harfiah berarti “menyempurnakan diri sendiri dari dalam.” Definisi ini tentu membantu kita untuk lebih memahami pernyataan kedua Santo Basilius tentang konsekuensi dari berpuasa.
Menurut Basilius Agung, puasa secara tepat memerintahkan selera tubuh kita untuk kebaikan jiwa kita: “Semakin anda sekalian menyangkal kedaginganmu, semakin anda sekalian membuat jiwa berseri-seri dengan kesehatan rohani” (Homili Kedua tentang Puasa, sekitar abad keempat). Di sini kita melihat pengaruh para Bapa Gereja di Padang Gurun terhadap spiritualitas santo Basilius Agung. Orang-orang Kristen awal ini bersikeras untuk mendapatkan kembali martabat yang hilang oleh Adam di Taman Firdaus. Mereka mengakui bahwa kesalahan Adam adalah kegagalan disiplin dirinya. Dia menyerah saja pada keinginan-keinginan dasarnya dan kehilangan pandangan akan panggilan luhur manusia sebagai imago Dei (“rupa dan gambar Allah”). Oleh karena itu, para biarawan seperti Abba Yohanes (525 M) akan memperingatkan: “Orang harus selalu menjaga diri dari keterikatan [pada hal-hal duniawi], karena inilah yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya.”
Tuhan Yesus sendiri mengajarkan bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja” (Mat. 4:4). Manusia bukanlah hewan. Kita sebagai manusia memiliki selera yang melebihi selera duniawi. Kehendak kita tidak didorong oleh naluri belaka. Seharusnya ada alasan yang lebih dalam untuk tindakan kita. Ketika perut saya lapar karena berpuasa, itu adalah pengingat akan kelaparan spiritual yang dialami jiwa saya di setiap saat dalam hidup saya. Ini juga merupakan logika di balik berpuasa sebelum menerima Komuni Kudus. Melalui puasa pra-Ekaristi, kelaparan tubuh saya secara sementara menyatu dengan kelaparan jiwa saya akan Kristus dalam Sakramen Mahakudus.
Jiwa kita senantiasa merindukan belas kasihan dan kebaikan Allah. Apakah kita memberi makan rasa sakit ini atau membiarkan jiwa kita kelaparan? Apakah kita memberi makan jiwa kita dengan makanan yang kaya dari Ekaristi, Sakramen Rekonsiliasi, Kitab Suci, dan doa kontemplatif? Kita tahu bahwa puasa adalah bagian integral dari kehidupan Yesus, sedemikian rupa sehingga Ia menghabiskan empat puluh hari di padang gurun untuk tidak makan makanan duniawi. Tidak ada yang dilakukan Tuhan yang bersifat kebetulan atau tidak direncanakan. Setiap peristiwa dalam hidup-Nya mengajarkan kita sesuatu yang mendalam tentang keberadaan kita sebagai pribadi dan panggilan kita sebagai orang Kristen. Dalam puasa Kristus, kita melihat sebuah cara untuk berbagi dalam kehidupan ilahi Allah. Dengan bertumbuh dalam pengendalian diri dari dorongan-dorongan yang tidak dewasa dan memelihara jiwa kita dengan baik melalui puasa, kita pasti akan bertumbuh dalam keintiman dengan Tuhan yang mengasihi kita. Selamat berpuasa dan pantang.
P. John Laba, SDB