Homili 10 Juli 2025

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIVC
Kej. 44:18-21,23b-29; 45:1-5
Mzm. 105:16-17,18-19,20-21
Mat. 10:7-15

Berbahagialah Orang Yang Murah Hati

Pada pagi hari ini saya mendapat pesan singkat berupa kutipan Sabda Yesus di bukit: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7). Saya merasa diteguhkan kembali untuk menjadi pribadi yang murah hati. Pada zaman ini memang sangat sulit untuk menemukan orang-orang yang benar-benar murah hati. Dengan mengucapkan kata ‘murah hati’ belum menjadi jaminan untuk bermurah hati seperti Tuhan. Seorang imam, biarawan, biarawati dan umat pada umumnya belum tentu bermurah hati seperti Bapa di surga. Tuhan Yesus pernah berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36), namun murah hati tetaplah sebuah perjuangan hidup untuk mencapainya dengan sempurna.

Sambil merenung tentang bermurah hati ini, saya mengingat kembali para murid Yesus. Keduabelasan-Nya ini sudah dipanggil, dipilih dan siap diutus untuk mewartakan kasih dan kemurahan hati Tuhan kepada sesama yakni orang yang sakit, orang yang wafat, orang yang sakit kusta, dan mengusir setan-setan dalam nama Yesus sendiri. Semua ini adalah kuasa dari Tuhan Yesus secara cuma-cuma. Sebab itu, Tuhan Yesus mengedukasi mereka untuk bermurah hati dengan berkata: “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8). Sikap murah hati seperti ini patutlah kita lakukan dengan penuh kasih karena Tuhan sudah lebih dahulu bermurah hati kepada kita.

Yusuf, anak Yakub juga mengalami kasih dan kemurahan hati Tuhan setelah ia mendapatkan pengalaman hidup yang keras, mulai dari dalam keluarganya maupun ketika berada di Mesir. Namun pengalaman akan Yahwe yang murah hati, membuatnya bermurah hati kepada saudara-saudaranya yang pernah melakukan kejahatan kepadanya. Yusuf tidak mengingat ingat kejahatan saudara-saudaranya, tetapi ia berusaha melupakannya karena kasih dan kemurahan Tuhan dialami dalam hidupnya.

Bagaimana dengan kita?

Kita pun perlu menjadi misionaris yang murah hati karena kita menerima dengan cuma-cuma dan kita seharusnya memberi dengan cuma-cuma. Pengalaman melayani dan berbagi dengan sesama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel adalah pengalaman bermurah hati. Masalahnya adalah apakah kita sadar bahwa kita bermurah hati seperti Tuhan sendiri atau kita bermurah hati seperti yang kita pikirkan saja? Kita bermurah hati seperti Tuhan berarti kita tidak bercerita dan menepuk dada karena kita sudah bermurah hati. Ketika kita bercerita tentang bermurah hati, saat itu kita juga kehilangan murah hati.

P. John Laba, SDB