Homili 12 Juli 2025

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-IVC
Kej. 49:29-32; 50:15-26a
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7
Mat. 10:24-33

Kebiasaan mencurigai sesama

Apakah anda pernah mencurigai seseorang di dekatmu? Seberapa sering anda mencurigainya? Apa untungnya setelah anda mencurigainya? Ini adalah beberapa pertanyaan yang sadar atau tidak sadar kita alami, entah kita yang bertanya atau orang lain bertanya kepada kita. Mencurigai itu bisa sifatnya poisitif dan bisa juga bersifat negatif. Kita bisa berefleksi dan menemukan sendiri jawaban atas mencurigai yang sifatnya positif dan negatif dalam pengalamann praktis kita.

Pada hari ini kita berjumpadengan dua sosok hebat dalam sebuah keluarga di dalam Kitab Kejadian, yakni keluarga Yakub. Kedua sosok itu adalah Yakub dan Yusuf. Yakub memiliki masa lalu, namun Tuhan menyertainya sehingga ia tetap hidup dalam rahmat Tuhan. Ia sudah berbahagia karena berjumpa kembali dengan Yusuf anaknya di Mesir, negeri asing baginya. Ketika menyadari bahwa dia akan meninggal dunia maka ia meminta supaya nantinya bisa dikuburkan bersama keluarga besarnya di sekitar Hebron, lebih khusus di samping Lea isrinya. Yusuf pun nantiya ketika meninggal di Mesir, ia meminta supaya saudara-saudaranya membawa tulang-tulangnya ke tanah yang sudah dijanjikan Tuhan yakni tanah Kanaan. Kedua sosok ini memberi pelajaran hidup yang positif yakni kebersamaan atau persekutuan di dalam keluarga.

Yakbu dan Yusuf menampakkan nilai positif dalam sisi kemanusiaan kita. Namun demikian ada titik lemah yang sangat manusiawi pada saudara-saudara Yusuf anak Yakub. Yusuf sudah memaafkan dengan tulus dan berrekonsiliasi dengan saudara-saudara yang melakukan kekerasan fisik dan kekerasan verbal kepadanya. Yusuf sempat menangis dan menunjukkan ketulusan hati untuk menerima saudara-saudaranya apa adanya. Namun saudara-saudaranya masih terbayang oleh dosa masa lalu, tidak sepenuhnya berrekonsiliasi dan berpikiran negatif tentang Yusuf yang baik dengan mereka. Mereka mencurigai Yusuf secara negatif bahwa Yusuf akan membalas dendam setelah Yakub sang ayah meninggal dunia. Mereka bahkan menciptakan sendiri pesan kepada Yusuf yang seolah-olah merupakan wejangan terakhir ayah mereka Yakub. Mereka datang dan bersujud untuk meminta maaf yang sebenarnya tidak sepenuh hati karena ketakutan manusiawi mereka.

Reaksi Yusuf adalah tetap konsisten dalam kebaikan. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah mengubah kejahatan menjadi kebaikan sehingga tetap memelihara hidup mereka sebagai bangsa. Sebab itu mereka jangan takut. Yusuf sendiri berjanji akan melupakan kejahatan mereka dan membalas dengan kebaikan yakni memperhatikan hidup dan kebutuhan mereka.

Pada hari ini kita berefleksi tentang diri kita sendiri yang cendrung mengingat masa lalu, kejahatan pribadi dan mencurigai orang yang berbuat baik kepada kita. Betapa rapuhnya hidup seperti ini di hadirat Tuhan dan sesama. Ini juga menjadi tantangan kita masa kini. Ingat, Tuhan mengubah kejahatan menjadi kebaikan karena ada orang baik. Apakah anda masih membiasakan diri untuk mencurigai sesaamu?

P. John Laba, SDB