Hari Minggu Biasa XVC
Ul. 30:10-14
Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37 atau
Mzm. 19:8,9,10,11
Kol. 1:15-20
Luk. 10:25-37
Belajar menjadi sesama dari Yesus
Kita selalu menggunakan kata ‘sesama’ ditambah lagi dengan kata ‘manusia’ sehingga menjadi ‘sesama manusia’. Di dalam masyarakat luas juga ada kebiasaan menyebut konfrater, confratelli atau ‘sama saudara’, demikian juga ‘consorelle’ artinya ‘sama saudari’. Sesama manusia adalah semua orang dari semua latar belakang: suku, agama, budaya, ras, dan bangsa, bahkan musuh atau yang memusuhi. Tentu sesama manusia langsung berhubungan dengan manusia secara total, maka setiap orang berkeyakinan bahwa ia memiliki tanggungjawab untuk mengasihi sesama manusia melalui tindakan nyata di setiap tempat dan waktu.
Pada hari Minggu ini kita mendengar perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Perumpamaan ini berawal dari pertanyaan profokatif seorang pakar Taurat untuk mencobai Yesus: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Luk 10:25). Tuhan Yesus tidak mengambil sebuah teori yang baru tetapi mengulangi apa yang sudah dibaca tentang perintah kasih yang total kepada Allah (Ul 6:4-5) dan kasih kepada sesama (Im 19:18).
Pakar Taurat ini mau membenarkan dirinya dengan bertanya lagi: ‘siapakah sesamaku manusia?’ (Luk 10:29). Tuhan Yesus tidak langsung menjawab pertanyaannya tetapi memberi sebuah perumpamaan. Ada seorang Yahudi sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho (24km), melewati padang gurun. Ia jatuh ke tangan penyamun dengan sangat tragis: dirampok dan dipukul setengah mati. Ada dua sesama Yahudi yang sempat lewat dan melihatnya yakni seorang Imam dan seorang Lewi namun mereka melewati saja karena bagi mereka najis bagi mereka kalau menyentuh tubuh manusia yang berdarah-darah dan luka. Suasana berubah ketika seorang Samaria yang adalah musuh orang Yahudi melewati tempat itu dan melihatnya. Ia merasa tergerak hati oleh belas kasihan sehingga ia menolong orang Yahudi ini dengan membalut luka, menyirami dengan minyak dan anggur, menaikan ke atas keledai, membawa ke tempat penginapan, dan membayar semua biaya penginapan. Ternyata seorang musuh berubah menjadi sesama bukan orang yang selalu legalis, mengekor pad orang lain tetapi akhirnya saling bermusuhan juga.
Lalu siapakah sesama manusia? Tuhan Yesus sedang berbicara tentang diri-Nya sebagai sesama atau saudara kita (Rom. 8:29; dan Ibr. 2:11). Dia menjadi sesama kita dengan mengurbankan diri untuk keselamatan orang jahat dan orang baik. Hati Yesus selalu tergerak oleh belas kasihan kepada semua orang. Ia mengajar kita untuk melakukann perintah kasih secara total kepada sesama seperti kepada diri kita sendiri, musuh sekalipun: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Ini menantang dan mengoreksi mindset kita tentang sesaa manusia. Seharusnya prinsip kita saat ini: ‘Karena dia manusia maka layaklah saya mengasihinya’.
P. Johnn Laba, SDB