Homili 17 Juli 2025

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XVC
Kel. 3:13-20
Mzm. 105:1,5,8-9,24-25,26-27
Mat. 11:28-30

Perjumpaan bermakna

Saya pernah mendengar sharing panggilan dari seorang Romo. Ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang begitu indah bersama dengan ayahnya yang saat itu bekerja sebagai seorang nelayan. Setiap hari ia melaut bersama ayahnya. Ia belajar bagaimana ayahnya membuat perahu sederhana dari sebatang pohon besar, melepaskan dan menarik pukat, memancing ikan dan mengolah ikan hasil tangkapannya itu dan menjualnya di pasar. Ia begitu terpesona dan membayangkan bahwa pada suatu saat dia akan menjadi seorang nelayan yang lebih modern dibandingkan dengan ayahnya. Sambil melaut, ayahnya selalu bercerita tentang kebaikan Tuhan bagi keluarga dan persahabatannya dengan pastor paroki. Ayahnya lalu mengatakan kepadanya: “Ayah berharap dan berdoa supaya engkau menjadi seorang gembala di darat bukan bukan lagi sebagai nelayan seperti saya di laut ini”. Perkataan sederhana ayahnya ini membuka wawasananya seluas lautan sambil memandang padang yang hijau di sekitar pesisir pantai. Dia merasa yakin bahwa perkataan ayahnya berasal dari Tuhan. Inilah awal ia merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi imam.

Tuhan selalu memiliki rencana-rencana yang indah bagi setiap orang. Ia memanggil Romo ini ketika ia sedang melaut bersama ayahnya. Kini ia menjadi seorang gembala umat. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil! Anda dan saya juga memiliki panggilan hidup yang unik, yang kalau kita renungkan saat ini, membuat hati kita semakin bersyukur karena kebaikan Tuhan. Rencana Tuhan selalu indah pada waktunya. Ia memaggil kita ketika kita sedang kelelahan dalam hidup, ketika kita sedang bergumul dengan beban berat. Ia tak henti mengajak: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11:28-30). Tuhan meringankan beban dan menjadikan kita sebagai utusan- Nya.

Namun apakah kita menyadari panggilan hidup kita masing-masing saat ini? Tuhan memanggil Musa bukan ketika dia sedang berdoa di dalam Rumah Tuhan bersama Yitro mertuanya yang adalah seorang imam. Tuhan memanggil Musa di tempat dia bekerja sebagai penggembala ternak milik mertuanya bukan milik pribadinya, di Midian, sebuah tempat pelariannya. Tuhan menguduskannya dengan berbicara dan mengajakanya untuk melepaskan sepatunya. Tuhan mengutusnya untuk membebaskan saudara-saaudaranya di Mesir. Perjumpaan Tuhan yang mewahyukan diri-Nya: ‘AKULAH AKU’ (Kel 3:14) mengubah seluruh kehidupan Musa. Percayalah bahwa Tuhan juga melakukan hal yang sama kepada anda dan saya saat ini. Perjumpaan dengan Tuhan selalu bermakna.

P. John Laba, SDB