Homili 18 Juli 2025

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XV
Kel. 11:10-12:14
Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18
Mat. 12:1-8

Merenung tentan belas kasih Tuhan

Belas kasih Tuhan itu sungguh nyata. Paus Leo ke-XIV sangat concern dengan orang-orang kecil yang menderita. Ia pernah berkata: “Di zaman kita ini, kita masih menyaksikan terlalu banyak perselisihan, terlalu banyak luka yang ditimbulkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, rasa takut terhadap orang lain, dan sistem ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya alam serta mengucilkan kaum miskin. Daalam situasi seperti ini, kita ingin menjadi ragi kecil yang membawa persatuan, persaudaraan, dan kebersamaan.” Perkataan ini membuka pikiran kita tentang besarnya kasih dan kerahiman Allah bagi manusia.

Kasih dan kerahiman Allah yang berlimpah dialami oleh umat Israel ketika mereka mengalami penindasan di Mesir. Tuhan menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya melalui sosok Musa kakaknya Harun. Mereka mengalami banyak kesulitan ketika bernegosiasi dengan Firaun. Mereka pernah merasa nyaris gagal memulangkan bangsa Israel ke negerinya, namun Tuhan tetap menyertai mereka. Semua karena kasih dan kerahiman Tuhan. Untuk membangun kesadaran baru bagi umat Israel dalam menata relasi dengan Tuhan maka ditetapkanlah perayaan paskah. Perayaan ini bertujuan untuk memperingati pembebasan ajaib dari Tuhan Allah atas bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Perayaan ini juga menyoroti pentingnya darah anak domba Paskah sebagai tanda perlindungan dan penebusan, menekankan bahwa Allah menyelamatkan bangsa Israel dari tulah terakhir yang menimpa orang Mesir. Hal yang penting di sini adalah iman kepada Tuhan harus tetap kokoh.

Tuhan Yesus menegaskan bahwa diri-Nya adalah Tuhan bagi hari Sabat dan bahwa belas kasihan itu jaug lebih penting daripada menjalankan hukum Sabat secara harfiah. Yesus juga menunjukkan bahwa kebutuhan manusia dan belas kasihan Tuhan harus diutamakan, bahkan di atas peraturan hari Sabat. Tuhan Yesus adalah tuan akan hari Sabat. Ia memiliki otoritas untuk menentukan bagaimana Sabat seharusnya dijalankan. Hal yang terpenting bukan soal legalitas semata melainkan nilai kemanusia yang perlu dan harus kita perjuangkan.

Untuk lebih menguatkan para murid Yesus maka mereka diharapkan untuk memiliki komitmen pribadi yang kuat di dalam mengikuti Yesus dari dekat. Tuhan Yesus selalu ada bersama para murid-Nya. Ia mengamati bahwa mereka memetik bulir gandum pada hari sabat dan memakannya. Sikap ini tentu melawan hukum dan peraturan mereka sebagai umat beragama Yahudi pada saat itu, sebab mereka mengesampingkan hukum Taurat. Tuhan Yesus dan para murid bukanlah kaum legalis. Mereka lebih memfokuskan perhatian pada perintah kasih dan praktiknya di dalam hidup bersama (Mzm 133:1). Apakah kita bersatu dengan saudari dan saudara kita? Apakah kita menunjukkan kasih dan persaudaraan sejati dengan saudari dan saudara kita?

P. John Laba, SDB