Homili 23 Juli 2025

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XVI
Kel 16:1-5.9-15
Mzm 78:18-19.23-24.25-26.27-28
Mat.13:1-9

Kebiasaan bersungut-sungut

Apakah anda tidak pernah bersungut-sungut dalam hidupmu kepada Tuhan dan sesamamu? Hanya orang sombong dan tidak jujur yang akan mengatakan bahwa mereka tidak pernah bersungut-sungut kepada Tuhan dan sesama di dalam hidupnya. Namun orang yang jujur akan mengakui dengan tulus hati bahwa ia pernah dan mungkin selalu bersungut-sungut, sekecil apapun itu kepada Tuhan dan sesama dalam hidupnya. Apakah kita tetap tinggal di dalam kebiasaan bersungut-sungut ini? Tentu saja tidak. Kita harus menjadi pribadi yang semakin dewasa dari saat ke saat untuk semakin dekat dengan Tuhan dan sesama di sekitar kita.

Pada hari ini kita berjumpa dengan kaum Israel yang memiliki kebiasaan bersungut-sungut ini kepada Tuhan melalui Musa. Tuhan Allah sudah berbuat baik kepada mereka, namun mereka tidak memikirkan kasih dan kebaikan Tuhan yang mereka alami saat itu. Mereka malah memikirkan tentang perut mereka dan bagaimana mengisinya. Orang-orang Israel itu mirip dengan orang-orang di Filipi di mana Santu Paulus pernah menulis kepada mereka bahwa Allah mereka adalah perut mereka (Flp 3:19). Pada waktu itu orang-orang Israel bersungut-sungut sambil mengingat kembali makanan dan minuman kesukaan mereka di Mesir. Ketika itu mereka duduk menghadap kuali yang penuh dengan daging dan roti dan makan sepuasnya. Mereka merasa bahwa masa lalu di Mesir lebih enak bahkan ereka rela mati di sana dari pada berada di padang gurun.

Tuhan sungguh baik. Dia tidak menghitung-hitung berapa kali orang-orang Mesir  bersungut-sungut melawan Dia. Kasih-Nya kekal abadi selamanya. Hal yang sama dilakukannya bagi umat Israel ketika berjanji untuk menurunkan hujan roti dari langit bagi mereka. Mereka juga akan makan daging yang diberikan Tuhan kepada mereka. Dengan demikian benarlah perkataan dan janji Tuhan untuk memberi makan kepada umat-Nya. Manusia bersungut-sungut tetapi Tuhan tetap menunjukkan kebaikan kepada mereka.

Bangsa Israel dan kita saat ini sama-sama mendengar Sabda Tuhan, ibarat benih yang ditaburkan sang penabur. Munkin saja benih itu jatuh di pinggir jalan, di atas batu, di antara semak duri atau di tanah yang subur yang bisa menghasilkan buah berlipat ganda. Kita sendiri mudah menilai bangsa Israel dan posisi benih yang ditaburkan. Namun kita mengalami kesulitan untuk memposisikan diri di mana letak benih Sabda yang ditaburkan di dalam hati kita sendiri. Mengapa karena budaya bersungut-sungut masih kental dalam hati kita masing-masing. Mari kita keluar, bereksodus dari budaya ini karena Tuhan sendiri tidak pernah bersungut-sungut melawan kita. Kebaikan dan kasih ada pada Tuhan.

P. John Laba, SDB