Persahabatan dalam dunia Pendidikan
Bertepatan dengan Pesta Tuhan Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Transfigurasi) 6 Agustus kemarin, saya mendapatkan permohonan khusus dari SMP dan SMA Santa Laurensia, Suvarna, Cikupa untuk merayakan Ekaristi atau Misa harian di sekolah. Saya memang pernah merayakan Ekaristi harian di sekolah, khusus bagi anak-anak TK dan SD. Kali ini saya merayakan Ekaristi untuk pertama kalinya bersama anak-anak SMP dan SMA. Meskipun kelompok belajarnya dan tingkatannya berbeda, namun saya merasa senang karena suasananya sangat mendukung untuk merayakan Ekaristi harian di sekolah ini. Paling kurang ada beberapa hal yang saya senangi di sekolah ini: Pertama, ada ruangan yang layak di pakai lantai ke-4 untuk beribadah bersama. Kedua, para siswanya disiapkan dengan baik untuk menjadi petugas liturgi, koor dan mereka yang lain sangat tertib dalam mengikuti perayaan ekaristi, meskipun tidak semuanya beragama katolik. Ketiga, para guru hadir dan aktif bersama anak-anak dalam perayaan Ekaristi. Saya merasa yakin bahwa sejal usia dini anak-anak sudah belajar tentang nilai-nilai rohani dalam kebersamaan di sekolah Katolik ini.
Dalam homili kepada para siswa dan guru yang hadir dalam perayaan Ekaristi kali ini, saya menekankan tentang nilai persahabatan di antara mereka sebagai sebuah komunitas belajar dan mengajar. Sebagaimana kita semua tahu bahwa anak-anak remaja sangatlah membutuhkan interaksi sosial dengan teman sebaya di lingkungan sekolah, keluarga, paea pendidik dan masyaraka luas. Sebab itu persahabatan sangatlah penting dalam pertumbuhan mereka sebagai remaja.
Dari mana mereka belajar tentang persahabatan? Saya mengajak anak-anak remaja dan para guru untuk balajar dari persahabatan antara Yesus dan para murid-Nya. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Kamu adalah sahabat-Ku” (Yoh 15:14). Dia adalah anak Allah namun merendahkan diri untuk menjadi sahabat bagi para murid-Nya. Ketika hendak menampakkan kemulian-Nya di atas gunung yang tinggi, Tuhan Yesus mengajak tiga murid yang sering disebut murid-murid inti yakni Petrus, Yakobus dan Yohanes. Ketiganya sudah bersahabat sebagai sesama nelayan sederhana di Galilea sebelum menjadi penjala manusia bersama Yesus. Kini mereka bersahabat dengan Yesus, berjalan bersama menuju ke atas puncak gunung, berkomunikasi bersama dalam perjalanan, dan Yesus mendapingi mereka hingga mencapai puncak gunung itu.
Apakah Petrus, Yakobus dan Yohanes merasa bahagia? Ya mereka merasa bahagia ketika tiba di atas puncak gunung dan menyaksikan kemuliaan Tuhan Yesus. Mereka juga mengalami ketakutan karena fenomena alam yang mereka rasakan bersama di depan Yesus. Namun kehadiran Tuhan Yesus seorang diri telah menenangkan dan menyenangkan mereka. Saya mengatakan kepada para guru dan siswa yang hadir dalam perayaan Ekaristi bahwa para guru itu seperti Yesus masa kini yang mengantar para siswanya sampai ke atas puncak gunung masa depan mereka. Ada suasana kebahagiaan, ada suasana ketakutan maka seorang guru mesti hadir secara aktif di tengah para siswa sebagai orang tua, guru dan sahabat bagi mereka. Tanpa ada persahabatan dalam masyarakat belajar maka tak ada kesuksesan yang dirasakan sempurna dalam diri anak-anak sekolah. Para guru hendaklah selalu berkata kepada para siswanya: “Kamu atau engkau adalaha sahabatku” dan mendampingi mereka hingga puncak gunung kesuksesan. Para siswa pun dapat berkata kepada para gurunya: “Kamu atau engkau adalah sahabatku”.
Demikian sebuah catatan pengalaman sederhana ketika melayani anak-anak di SMP dan SMA santa Laurensia, Suvarna, Cikupa. Selamat dan sukses selalu komunitas sekolah santa Laurensia, Suvarna, Cikupa.
P. John Laba, SDB