Mengasihi bukan sekedar mengasihani
Pada hari ini saya kembali membaca beberapa catatan di salah satu file saya beberapa tahun yang lalu. Saya menemukan sebuah perkataan bijak dari Nelson Mandela yang bunyinya: “Tak ada orang yang terlahir untuk membenci sesamanya karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Namun demikian orang harus belajar untuk membenci. Jika orang itu bisa belajar untukj membenci maka ia bisa diajarkan untuk mengasihi karena kasih itu lebih alamiah dalam hati manusia ketimbang parasaan membenci sesamanya”. Perkataan pejuang nasional dari Afrika Selatan tempo doeloe ini masih aktual saat ini. Prinsip yang penting adalah manusia, anda dan saya harus menjadi sesama bagi manusia lainnya karena kita bersifat sosal (homo homini socius) bukan sebaliknya menjadi manusia serigala bagi sesama manusia lainnya (homo homini lupus).
Belakangan ini kita semua mendengar kasus penganiayaan hingga tewasnya prada Lucky. Kompas id bahkan memberitakan lagi “Setelah prada Lucky tewas, kini ayahnya diduga melanggar disiplin. Memang setiap lembaga memiliki aturan mainnya namun kita tidak dapat menjadi orang Farisi modern yang legalis dan melupakan nilai hak asasi manusia. Ketaatan kepada pimpinan adalah harga mati namun nilai kemanusiaan juga harga mati. Seorang prajurit misalnya di gembleng untuk bermental prajurit itu baik adanya namun menganiaya, membuly hingga menewaskan seorang sesama manusia itu benar-benar homo homini lupus. Reaksi orang tua Lucky yang masih prajurit aktif ini memang sangat wajar karena anak lahir dari darah dan rahim orang tuanya. Ada perkataan: ‘If you were in my shoes’ atau ‘Jika anda berada di posisi saya, apa yang akan anda lakukan?’ Apakah sebagai orang tua hanya bisa taat buta pada aturan main institusi tanpa membuka mulut. Saya kira dan pastikan bahwa tidak. Kita semua memiliki ahti nurani untuk mengasihi bukan untuk mengasihani.
Kasus kematian Prada Lucky harusnya membuka mata hati setiap pribadi untuk sungguh-sungguh menjadi manusia bagi manusia yang lain. Kita mengetengahkan nilai-nilai hak asasi manusianya dan tidak hanya sebatas menjadi orang Farisi yang legaslis masa kini. Sungguh aneh ketika melakukan tindakan kekerasan berjamaah seperti itu dan tidak ada perasaan kemanusiaan. Kalau lebih sempit lagi, nama-nama mereka yang diadili karena tindakan kekerasan sampai menghilangkan nyawa Prada Lucky umumnya bernama nasrani yang dikenal dengan agama kasih bukan agama kasihan. Miris! Plato, sang Filsuf Yunani pernah berkata: “Berbaik hatilah kepada sesama yang kita temukan sedang menghadapi perjuangan yang lebih berat”. Kita tidak harus tertawa di atas penderitaam sesama yang lain.
Saya teringat pada pesan santu Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Roma: “Jangan berhutang sesuatu kepada siapa pun, tetapi hendakah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesama manusia, ia sungguh memenuhi hukum Taurat. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Rm 13:8-9). Sesama manusia, siapapun dia tetapi karena ‘sama’ sebagai manusia maka layaklah untuk dikasihi bukan dikasihani. Dikasihi berarti pribadi itu mengalami cinta kasih, penghargaan dan kepeduliaan yang tulus. Dikasihani itu berarti sebuah situasi atau pengalaman kesedihan, simpati atau perasaan belas kasih kepada pribadi tertentu. Pengalaman dikasihi tentu mendorong setiap pribadi untuk memiliki harga diri. Pengalaman dikasihani itu berkaitan dengan perasaan rendah diri. Orang merasa begitu rapuh sehingga perlu kasihani. Pengalaman dikasihi dan dikasihani itu selalu ada bersama kita. Tentu saja kita semua juga diingatkan untuk mempu mengasihi bukan sekedar mengasihani melalui zoom tetapi sunggu membutuhkan tindakan yang nyata.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip perkataan W.S. Rendra: “Kita tersenyum bukanlah karena sedang bersandiwara. Bukan juga karena senyuman adalah suatu kedok semata. Tetapi karena senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia, sesama, nasib dan kehidupan”. Mari kita saling mengasihi dan bukan hanya sekedar mengasihani saja.
P. John Laba, SDB