Hari Rabu, Masa Natal
Peringatan Wajib St. Basilius Agung dan Gregorius dr Nazianze
1Yoh. 2:22-28
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4
Yoh. 1:19-28
Tidak ada dusta di antara kita!
Penulis surat pertama Yohanes mencoba membuka mata rohani kita untuk selalu memandang Allah yang sudah menjadikan kita sebagai anak-anak-Nya. Sebab itu ia men gajak kita untuk selalu mawas diri terhadap antikristus yang ada di dalam dan di luar komunitas atau Gereja kita. Dia dengan tegas mengatakan begini: “Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran.” (1Yoh 2:21). Mungkin kita bertanya, siapakah pendusta itu? Bagi Yohanes, si pendusta adalah dia yang menyangkal baik Bapa maupun Anak (1Yoh 2:22). Wejangan yang kita temukan dalam surat pertama Yohanes ini membantu kita untuk tanggap dan mawas diri terhadap antikristus yang tidak lain pada zaman ini adalah para pendusta, penyebar hoax yang meracuni akal sehat banyak orang.
Tidak ada dusta di antara kita. Mungkin banyak di antara kita lebih mengingat sebuah lagi tempo doeloe yang dipopulerkan oleh Broery Marantika dan Dewi Yull: “Jangan ada dusta di antara kita”. Saya tentu tidak bermaksud membahas lagu itu dalam renungan ini, tetapi hanya mau mengatakan bukan ‘jangan’ melainkan ‘tidak’ ada dusta di antara kita sebagai sesama manusia dan dengan Tuhan sendiri.
Mari kita memandang sosok Yohanes Pembaptis dalam Injil Yohanes yang barusan kita dengar bersama. Dikisahkah oleh sang penginjil bahwa pada suatu ketika orang-orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi untuk menanyakan jati diri Yohanes Pembaptis dengan pertanyaan ini: “Siapakah engkau?” (Yoh 1:19). Yohanes sudah mendapat pembinaan dari kaum Eseni di sekitar Qumran, dekat laut mati. Maka ia memiliki bekal kebijaksanaan manusiawi dan ilahi. Ia sangat cerdas dan rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Maka ketika ditanya jati dirinya: “Siapakah engkau?” maka ia mengaku dengan terus terang tanpa ada kata dusta: “Aku bukan Mesias!” (Yoh 1:20). Pertanyaan lainnya adalah kalau bukan Mesias, apakah dia adalah Elia atau nabi yang akan datang. Yohanes tidak berdusta dan hanya mengatakan: “Bukan” (Yoh 1:21).
Tentu saja para utusan ini merasa kecewa dengan jawaban Yohanes yang singkat, jelas dan tepat di matanya. Orang-orang itu mendesak Yohanes untuk memberi jawaban pasti. Ia rendah hati untuk mengatakan: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yoh 1:23). Yohanes mengaku diri hanya sebagai suara yang berseru-seru. Lebih lagi ia tidak berdusta dan menjawab pertanyaan mereka tentang tugasnya untuk membaptis padahal ia bukan Mesias: “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak.” (Yoh 1:26-27). Yohanes membawa kita kepada Yesus. Yesus lebih besar, lebih utama bagi kita semua. Kita tidak layak di hadapan-Nya, namun Ia melayakkan kita sebagai anak-anak dari satu Bapa yang sama yang kita sapa sebagai ‘Abba’.
Pada hari ini kita belajar untuk menghayati perkataan: “Tidak ada dusta di antara kita” sebagaimana ditunjukkan sendiri oleh Yohanes Pembaptis. Ia tidak berdusta dan mengaku-ngakui dirinya sebagai Mesias. Ia berani jujur mengatakan dirinya ‘bukan’ dan tidak berdusta dengan mengatakan dirinya ‘ya’ sebagai Mesias. Dia membawa kita semua untuk menjadi dekat, akrab dan bersahabat dengan Yesus sebagai kebenaran sejati.
Dari Yohanes Pembaptis kita belajar tiga hal berikut ini: Pertama, kita belajar untuk berkata benar dan tidak berdusta. Kita hendaknya menjadi pembawa kabar sukacita kepada sesama. Marilah kita menjauhkan diri kita dari kebiasaan-kebiasaan berdusta, menyebarkan kebohongan publik yang berujung pada kebencian yang tidak manusiawi dan perpecahan. Apa untungnya anda suka berdusta? Kedua, kita belajar tentang kejujuran. Yohanes menggunakan kata ‘bukan’ untuk menunjukkan kejujuran dan ketulusan hatinya. Andaikan ia tidak jujur pasti ia berdusta dan mengakui dirinya sebagai Mesias. Ketiga, Kita belajar untuk rendah hati. Yohanes tidak menepuk dada dan mengatakan dirinya hebat. Dia hanya mengatakan dirinya sebagai ‘suara’ bahkan tunduk dan membuka tali sepatu-Nya pun Yohanes merasa tidak layak. Saya merasa yakin bahwa ketiga hal ini baik adanya dan membantu kita untuk berani berjanji: “Tidak ada dusta di antara kita”.
Kita mempercayakan semua niat-niat suci ini di awal tahun 2019 melalui perantaraan dua sahabat orang kudus yang kita rayakan pestanya hari ini yakni santu Basilius Agung dan St. Gregorius dari Nazianze.
Doa: Tuhan Bapa di dalam surga, kami bersyukur kepada-Mu sebab hari ini Engkau mengajar kami untuk berani berkata benar dan menjauhkan diri dari kebiasaan berdusta. Semoga Engkau senantiasa membaharui hidup kami dalam kebenaran-Mu. Amen.
PJ-SDB