Melihat yang terbaik
Ada seorang pemuda yang pernah curhat dengan saya. Ia merasa putus asa karena ternyata seorang teman yang selama ini menjadi kepercayaannya berbalik arah dari darinya. Sahabat ini lalu merasa bahwa sia-sia saja hidupnya dan usaha membangun relasi dengan sesama manusia yang lain, sebab tidak seorang pun yang dapat dipercaya. Baginya, rasanya habis manis sepah dibuang. Setelah lama bersahabat akhirnya dirinya disingkirkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Saya mengangguk-angguk sendiri dan mengatakan dalam hati saya bahwa curhat sang pemuda ini memang benar adanya dan sering terjadi dalam hidup ini. Tidak seorang pun dapat menjadi sahabat sejati sepanjang hidup ini. Ada saja ‘wind of change’ yang dapat menciptakan kondisi: kawan menjadi lawan dan pada akhirnya lawan menjadi kawan juga.
Pikirkanlah situasi pasca pilpres. Sudah ada berbagai klaim kemenenangan dilontarkan sepihak oleh kubu-kubu tertentu. Ada yang mengklaim dengan data, ada yang mengklaim tanpa data. Masing-masing merasa benar sesuai selera dan keyakinannya. Kalau kita melihat dan mengenal orang-orang yang sering mengklaim di layar kaca maka catatan dan rekan digital akan mengatakan label baginya: “politis kutu loncat”. Misalnya tahun 2014 yang lalu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, dia sangat fanatik ko sosok A dan tahun 2019 dia ke sosok B. Tentu saja tidak semua hal positif yang dibicarakan tentang sosok A dan B, tetapi sosok negatif juga banyak dibicarakan. Memang sangat lucu ketika kita merenung tentang berpolitik. Aristoteles pernah mengatakan: “Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.” Kalau orang tidak mengontrol dirinya maka politik itu menjadi kotor! Tentu hal ini bebeda dengan Ridwan Kamil yang mengatakan: “Politik itu mulia. Cara untuk memperjuangkan nilai. Politik praktis juga umumnya bising berintrik. Butuh nalar jernih dan sabar dalam menavigasinya.”
Satu hal yang penting di sini adalah bagaimana usaha setiap orang untuk menata kembali sebuah kultur damai dan nyaman di negeri ini. Sebuah negeri yang sedang tercabik, terpisah karena issue-issue yang tidak sehat dan dapat meniadakan persekutuan dan persaudaraan sebagai satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia. Kita boleh beda pilihan tetapi persekutuan dan persaudaraan itu harus tetap menjadi nomor satu. Apa untungnya kita bermusuhan hanya karena berbeda pilihan politik? Bukankah ada kepastian adanya kalah dan menang? Bukankah kita juga akan tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita setiap hari. Siapapun yang terpilih, tetaplah menjadi abdi masyarakat dan bangsa. Maka persaudaraan itu selalu nomor satu, sedangkan ujaran kebencian dan hoax hendaknya dilenyapkan.
Saya menutup pemikiranku ini dengan mengutip William Shakespeare. Ia pernah berkata: “Kalau anda tidak menemukan kebaikkan yang bisa diceritakan tentang seseorang, lebih baik mengunci bibir anda erat-erat dan anda akan bersyukur kemudian.” Mari kita belajar berbuat baik sebab perbuatan baik itu akan kembali menjadi milik kita lebih dari yang sudah kita lakukan. Mari kita menjaga mulut dan lidah kita yang mudah sekali mencabik dan menghancurkan persekutuan persaudaraan kita. Tentu saja kita perlu melihat yang terbaik di dalam diri sesama dan berusaha melupakan hal-hal yang tidak baik di dalam diri mereka.
PJ-SDB